Masyarakat Britania Raya, Makin Kaya Tapi Tak Bahagia

Kekayaan bukan segalanya untuk hidup bahagia. Ini dialami oleh masyarakat Britania Raya. Menurut seorang anggota parlemen dari kelompok Kristen Konservatif, banyak warga masyarakat yang secara materi melimpah tapi tetap tidak merasa bahagia. Mengapa?

Dalam kajian yang dilakukan Gary Streeter bersama lima anggota parlemen lainnya, tentang sejauhmana ajaran kekristenan mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari, sampai pada kesimpulan bahwa meski tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat seiring dengan makin banyaknya orang kaya di Britania Raya, tapi kelompok masyarakat ini banyak yang merasa tidak bahagia dengan kehidupannya.

"Kami mencoba memahami mengapa kehidupan yang bahagia itu tidak mereka rasakan. Bagi kami, nampaknya kekayaan saja tidak cukup, orang mencari sesuatu yang lebih dari yang dimilikinya saat ini, " kata Streeter seperti dikutip Times, edisi Senin (12/5).

Hasil laporan kelompok kerja parlemen itu menyebutkan, banyaknya buku-buku bertema bagaimana hidup bahagia dan sejumlah riset mengklaim bahwa masyarakat Britania Raya saat ini tidak lebih bahagia dibandingkan 50 tahun yang lalu. Dan ternyata penyebabnya utama ketidakbahagiaan mereka, karena kurangnya nilai-nilai religius dalam diri kehidupan mereka sehari-hari.

Di tengah situasi ekonomi dan persaingan yang serba ketat sekarang ini, menurut laporan itu, orang cenderung mengorbankan nilai-nilai, hubungan dekat dan rasa nyaman untuk mengejar dan mendapatkan kesejahteraan materi. Hasil kajian kelompok kerja parlemen ini, tidak jauh berbeda dengan pernyataan Kardinal Murphy-O’Connor, kepala Gereja Katolik di Inggris dan Wales pekan kemarin. Kardinal O’Connor mengingatkan bahwa "nilai-nilai spritual" di kalangan masyarakat Britania makin terkikis.

Menurut kelompok kerja itu, masyarakat Britania Raya harus melakukan perubahan radikal jika ingin hidup bahagia. Kuncinya, kata mereka, masyarakat harus kembali pada kehidupan yang agamis. Masyarakat harus kembali membangun nilai-nilai hubungan antar manusia, nilai-nilai keluarga, rasa tanggung jawab dan rasa saling percaya dalam hidup bermasyarakat.

"Komunitas-komunitas keagamaan punya kesempatan besar untuk membantu perubahan ini. Kita jangan lagi menekankan kebahagiaan pada pundi-pundi uang yang didapatkan, atau mengukur kebahagiaan dari gelar kesarjaan dari universitas." demikian kesimpulan akhir kajian kelompok kerja tersebut. (ln/iol)