Presiden AS Barack Obama melakukan lawatan pertama keluar negeri, yang berlangsung selama sembilan hari. Kunjungan pemimpin AS keluarga negeri itu, bertujuan membangun kembali citra AS, yang rusak, selama pemerintahan Presiden George Bush. Obama mengunjungi London, Strasbourg, Berlin, Praha, Istambul, dan terakhir ke Bagdad.
Di London, Presiden Obama menghadiri pertemuan kelompok G.20, yang membahas isu global, yang berkaitan dengan krisis ekonomi. Pertemuan G.20 itu, merupakan usaha yang dilakukan Barat, yang bertujuan memecahkan krisis yang sekarang dihadapinya. Tapi, nampaknya tidak banyak dapat dihasilkan dari pertemuan G.20 itu, karena mekanisme krisis ini dikembalikan kepada lembaga multilateral IMF, dan dukungan dana yang berjumlah 1 trilyun dolar itu untuk mengatasi krisis global, khususnya untuk melakukan intervensi terhadap bank-bank yang sekarang ini terkena krisis.
Peranan Obama, khususnya isu-isu strategis secara global, seperti mengembalikan posisi Nato, yang sebenarnya sudah melemah, dan masuknya kembali Perancis kedalam anggota Nato secara penuh, ketika berlangsung pertemuan di Strasbourg, dan terpilihnya mantan Perdana Menteri Dennark, Rusmensen, yang mendapatkan penolakan dari Turki. Karena, Rusmensen membiarkan terhadap sejumlah Koran di Denmark, yang melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Tapi, konflik ini dapat ditengahi Obama, di mana Turki mendukung Nato dan Rusmensen, tapi sebaliknya Turki diterima ke dalam Uni Eropa.
Isu yang penting lainnya, yang disampaikan Obama di Praha, menghadiri konferensi perluncutan senjata, pemimpin AS itu, menegaskan perlunya dunia bebas nuklir. Obama menjanjikan peninjauan kembali seluruh arsenal nuklir. Dan, meminta Rusia yang memiliki senjata nuklir yang merupakan sisa perang dingin yang lalu, juga ikut mendukung usaha proliferasi senjata nuklir. Langkah ini, tak lain, karena semakin kawatirnya penyebaran senjata nuklir, yang sekarang ini sudah menyebar, ke negara-negara yang menjadi musuh Israel. Seperti Iran.
Tentu, AS tak dapat melupakan pasti senjata nuklir yang dimiliki Pakistan. Di mana di wilayah ini terus dilanda konflik antara kelompok Taliban dengan pemerintah Pakistan, sejak zaman Presiden Parvez Musharaf. Maka, ketika berada di Berlin, Obama meminta para pemimpin Eropa agar mendukung rencana untuk memperkuat pasukan Nato Afghanistan.
Sekarang, AS bersama Nato terus mengembangkan pasukannya di Afghanistan, yang jumlahnya terus meningkat. Sekarang pasukan AS dan Nato sudah mencapai 70.000 tentara.Dalam kunjungan ke Turki, di negeri muslim pertama yang ia kunjungi itu, Obama menegaskan keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan dunia Islam. “Islam bukan musuh AS’, tegasnya.
Nampaknya, Presiden Obama ingin menunjukkan kesungguhannya memperbaiki posisi AS di mata dunia Islam, yang selama pemerintahan Bush penuh dengan lumuran darah, dan ini ingin diperbaiki oleh Obama. Maka, ketika berbicara di depan para tokoh agama, yang sedang melangsungkan pertemuan pada ‘Aliansi Peradaban’, selain ingin memperbaiki hubungan dengan Islam, Obama juga menegaskan kembali posisi AS, terhadap konflik Arab-Israel, yang dia katakan bahwa AS berusaha mewujudkan perdamaian di Timur Tengah dengan membentuk adanya dua negara ‘Two states’ yaitu Palestina-Israel, yang berlandaskan perjanjian Annapolis.
Apakah komitement Obama dan pemerintah AS ini serius? Masih haru dibuktikan dalam proses berikutnya. Sebab, Menlu Israel yang baru Avigdor Lieberman sudah terang-terangan menolak, dan tidak mau terikat dengan perjanjian Annapolis. Berarti Israel menolak ide berdiri negara Palestina, yang akan berdampingan dengan Israel.
Sebelum bertolak ke AS, Presiden Obama secara diam-diam berkunjung ke Bagdad, dan bertemu dengan Perdana Menteri Nur al-Maliki dan Presiden Jalal Talalbani. Selain, Obama menyempatkan diri bertemu dengan pasukan AS di Irak di kamp ‘Camp Victory’. Pemimpin AS itu juga berdialog dengan Jendral Ray Odierno.
Pemimpin AS itu hanyalah menegaskan keinginan untuk mengakhiri perang di Iraq, dan tentara AS itu, segera keluar dari Iraq, penarikan itu dijadwalkan selama 18 bulan. Dan, inilah phase yang kritis bagi masa depan Iraq. Tapi, benarkah itu semua, terutama bagi mengatasi masalah keamanan di dalam negeri Iraq.
Khusus, mengenai masalah konflik Arab-Israel dapat Obama bersungguh-sungguh menyelesaikan konflik di kawasan dengan adil? Tak ada dapat memprediksi karena konstalasi politik di Israel telah berubah, di mana kelompok sayap kanan telah menentukan arah kebijakan politik Israel,yang akan berimplikasi pada perdamaian dikawasan itu (m/tme)