Dipecatnya tiga presenter berjilbab dari radio Casa FM di Maroko, menambah daftar panjang muslimah yang dipecat dari pekerjaannya sebagai presenter di media-media Arab, karena mengenakan jilbab.
Seorang presenter televisi Samia al-Maghrawy misalnya, juga mengalami pengalaman buruk itu. Ia mengatakan, sejumlah seniornya mulai bersikap beda padanya ketika ia memutuskan mengenakan jilbab. "Mereka seperti ingin mempermalukan saya dan tidak lagi menugaskan saya ke luar negeri, " ujarnya.
"Untuk menyelamatkan muka dan menghindari munculnya persoalan dengan pihak administrasi, saya memutuskan untuk bekerja sebagai editor sehingga saya tidak perlu muncul di layar televisi, " sambungnya.
Pekerja media lainnya Wafaa al-Hamry menuduh pemerintah menerapkan standar ganda dalam masalah jilbab di negeri itu. Ia mengatakan, "Tidak ada aturan yang melarang muslimah berjilbab tampil di televisi, tapi ketika ia melamar pekerjaan itu, dan meskipun ia memenuhi persyaratan, dia tetap tidak mendapatkan pekerjaan itu. "
Semua muslimah berjilbab yang bekerja media, kata al-Hamry, tahu bahwa mereka hanya akan mendapatkan pekerjaan sebagai sutradara atau editor, atau pekerjaan lainnya yang "di belakang layar. "
Pakar media, Yehia al-Yehiawy mengaku terkejut dengan kondisi itu, karena media seharusnya menjadi tempat di mana orang menghormati perbedaan dan kebebasan. Dalam wawancara dengan situs Al-Arabiya, Yehiawy mengatakan bahwa televisi publik di Maroko ingin menunjukkan ideologinya sendiri, yang akan menimbulkan efek bagi para pemirsanya. Seorang presenter berjilbab dianggap tidak pas dengan strategi ini.
Bagi Yehiawy, larangan mengenakan jilbab akan mengarah pada, "satu kelompok akan mengedepankan media yang didedikasikan hanya untuk menampilkan tari-tarian, nyanyi-nyayian dan semua aspek komersil yang murahan, tujuannya mendapatkan keuntungan dengan cepat. Sementara kelompok lainnya akan berpikir bahwa media adalah alat yang hanya menyampaikan pesan-pesan sosial dan keagamaan. "
Penulis bernama Aziz Bakoush mengatakan bahwa fenomena jilbab di media massa di Maroko adalah sesuatu yang baru dan selalu dikaitkan dengan politik Islam atau mengIslamkan politik.
"Beberapa negara Arab-dan Maroko adalah salah satu di antaranya-masih memandang jilbab sebagai pertanda ekstrimisme, " ujarnya.
Menurut Bakoush, persoalannya adalah tidak adanya hukum yang jelas yang menetapkan batasan-batasan. "Pelarangan, terlepas dari apa yang dilarang, bukanlah ide yang bagus, " tukasnya. (ln/al-araby)