Mantan menteri luar negeri Afghanistan Abdullah Abdullah mengingatkan masyarakat internasional untuk tidak berpaling dari masalah Afghanistan, setelah negara itu porak poranda akibat invasi yang dilakukan AS dan sekutunya.
Abdullah dalam wawancara dengan Islamonline di sela-sela penyelenggaraan US-Islamic World Forum yang berakhir Senin (19/2) mengatakan, dunia jangan mengulang kesalahan yang sama, mengabaikan Aghanistan setelah negara itu berjuang melawan agresi Rusia sampai akhirnya Rusia mundur pada tahun 1989.
Aghanistan kembali tercabik-cabik oleh perang yang dilancarkan AS dan sekutunya, pasca peristiwa 11 September 2001 sampai sekarang. AS berhasil menumbangkan pemerintahan Taliban yang dituding berafiliasi dengan al-Qaidah dan menjadi otak serangan tersebut.
Namun setelah lima tahun kehadiran pasukan AS di Afghanistan, para pejabat pemerintah dan aktivis kemanusiaan menyatakan bahwa Barat telah gagal menata negara itu seperti yang dianjikan.
Rakyat Afghanistan malah makin menderita dan hidup dalam kemiskinan. Mereka kini tidak punya alat pemanas sentral, tidak ada listrik dan tidak ada persediaan air bersih. Bahkan menurut lembaga think-tank internasional, Senlis, lebih dari 70 persen rakyat Afghanistan kini mengalami kekurangan gizi akut dan hanya seperempat dari mereka yang memiliki akses air bersih dan aman untuk diminum.
Mantan Menlu Afghanistan juga menyatakan, Afghanistan berpotensi menjadi pusat terorisme internasional, jika Barat mengabaikan Aghanistan setelah melakukan banyak kerusakan di negeri itu.
Menurut Abdullah, Taliban dan al-Qaidah masih menjadi ancaman besar bagi dunia, meski sekarang Afghanistan bukan lagi menjadi markas besar al-Qaidah. "Al-Qaidah belum menerima kekalahan dan terus berusaha untuk kembali menguasai negara kami, " tukasnya.
Sejak Taliban tumbang, perang melawan sisa-sisa kekuatan Taliban yang dilancarkan AS dan sekutunya telah menelan puluhan ribu korban jiwa. Sepanjang tahun 2006 saja, lebih dari empat ribu warga Afghanistan yang tewas, mayoritas penduduk sipil. Para analis dan komandan NATO memperkirakan, situasi perang mereka di Afghanistan pada tahun ini, akan lebih buruk lagi.
Ditanya soal keberadaan Usamah bin Ladin, Abdullah menjawab bahwa dirinya tidak tahu pasti di mana keberadaan tokoh utama al-Qaidah itu.
"Menurut laporan intelejen, ia berada di Pakistan. Saya tidak ingin menuduh. Saya hanya ingin mengatakan, upaya penangkapan bin Ladin harus dilakukan lebih serius, " ujar Abdullah.
Tidak Setuju Amnesti
Terkait dengan upaya rekonsiliasi antar beberapa faksi di Afghanistan, Abdullah menyatakan ketidaksetujuannya atas undang-undang rekonsiliasi nasional yang disahkan parlemen Aghanistan pada 31 Januari lalu.
Undang-undang itu, kata Abdullah, telah memberikan amnesti pada para pejuang Taliban dan mereka yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM, termasuk pada komandan tertinggi Taliban Mullah Umar dan mantan perdana menteri Gulbaden Hikmatyar, yang disebutnya sebagai penjahat perang.
"Pandangan saya tegas, Mullah Umar dan Hikmatyar adalah penjahat dan masih melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Afghanistan. Mereka seharusnya tidak diberi maaf dan harus diadili, " tandas Abdullah.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan, untuk menghentikan tindakan al-Qaidah merekrut para pemuda Muslim, masalah-masalah di Palestina dan Irak harus segera diselesaikan.
"Saya tidak mengatakan jika masalah-masalah itu diselesaikan, al-Qaidah akan lenyap. Al-Qaidah masih akan ada, tapi kapasitas mereka merekrut dan menyesatkan generasi muda Muslim akan berkurang, " ujarnya.
Sejauh ini, isu seputar al-Qaidah dan pemimpinnya Usamah bin Ladin yang didengung-dengungkan AS, malah memicu pertanyaan besar. Benarkah al-Qaidah dan Usamah bin Ladin yang kerap disebut-sebut AS sebagai "biang kerok" terorisme itu benar-benar ada, atau hanya menjadi alat AS saja untuk mewujudkan ambisi perangnya melawan terorisme dan menguasai negara-negara Muslim. (ln/iol)