Sabtu kemarin, mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) mengikuti acara bedah buku "Ilusi Negara Islam", yang diselenggarakan oleh Forum Silaturrahmi Pasca Sarjana di Mesir El-Montada. Acara yang terlaksana di Griya Jawa Tengah ini disambut hangat oleh Atase Pendidikan KBRI Mesir Dr. Sangidu, M. Hum. dan Masisir mengikutinya dengan antusias.
Acara ini menghadirkan empat nara sumber; Abdul Ghofur, M.A. dari Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama (PCI NU) Mesir, Iswan Kurnia Hasan, Lc. dari Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP PKS), Cecep Taufiqurrahman, S.Ag. dari Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiah (PCIM), dan Ahmad Fahrurozi, SE dari Hizbuttahrir Indonesia (HTI).
Dalam kata sambutan untuk memulai acara, ketua El-Montada Muhammad Saifuddin, M.A. menyampaikan, "Walau sebenarnya isi buku itu telah diketahui siapa yang menyerang dan diserang, namun buku ini perlu dibedah untuk membudayakan budaya ilmiah."
Diskusi ini dimulai tepat pada pukul 18.38 CLT. Pembicara pertama dari NU, Abdul Ghofur mengatakan, "Buku yang mewakili liberal ini tidak terlepas dari kasus Monas, seperti terlibatnya Gusdur dan Guntur Romli." Terkait tujuan, Abdul Ghofur yang familiar disapa dengan Gus Ghofur mengatakan, "Buku ini menekankan bahwa memang ada pihak yang berusaha mendirikan negara Islam dan menggulingkan Pancasila."
Menanggapi buku Ilusi Negara Islam ini, Iswan Kurnia Hasan, Lc. Sekjend PIP-PKS Mesir mengatakan, "PKS telah dan sedang terus berusaha menerapkan substansi negara Islam di Indonesia, sedangkan buku ini masih menyatakan bahwa negara Islam itu ilusi. Jadi buku ini sudah ketinggalan zaman."
Terkait isi buku tersebut Iswan menjelaskan, "Banyak kesalahan dalam buku ini, baik secara metodologi riset, seperti metodologi yang dipakai kualitatif namun hasilnya kuantitatif; kesalahan epistimologis seperti tidak ada definisi transnasional; kajian literatur yang tidak metodologis, kajian terminologi yang parsial dan tidak integral, aspek kodikologi yang berbau politis, hingga konklusi dan justifikasi tanpa varian yang jelas, seperti mengkatagorikan PKS sebagai gerakan Islam radikal. Bisa dikatakan, buku ini lahir dalam keadaan cacat."
Nara sumber lainnya, Cecep Taufiqurrahman, S.Ag. mantan ketua PCIM menyampaikan pendapat pribadinya. Ia mengatakan, "Bila ada persinggungan negatif antar pergerakan Islam di Indonesia di masa lalu, maka mari kita selesaikan dengan dialog, sehingga bisa bersinergi dalam dakwah di masa depan. Jika pergerakan Indonesia saling baku hantam, maka yang tertawa adalah Yahudi."
Pada sesi akhir penyampaian materi, giliran aktivis HTI Ahmad Fahrurozi, SE menyampaikan pandangannya tentang buku Ilusi Negara Islam. Ia mengatakan, "Buku ini menjadi bukti lain dari kemunafikan kaum liberal. Mereka menyeru agar berprasangka baik (husnu zhân) pada LSM asing yang merugikan umat Islam, tapi diwaktu yang sama mereka sendiri berprasangka buruk (sû’u zhan) pada pergerakan Islam, bahkan mengklaimnya dengan berbagai stigma negatif."
Sebagai contoh Fahrurozi mengutarakan, "Kaum liberal mengisukan dakwah di instansi-instansi umum sebagai penyusupan. Padahal dengan adanya dakwah di instansi-instansi umum, tidak aneh kita mendengar ada mahasiswa Fakultas Kedokteran yang hafal Al-Quran 15 juz. Orang kantoran juga ga’ perlu ke pesantren untuk belajar agama, karena ada gerakan dakwah yang sukarela mendatangi mereka. Pantaskah ini disebut penyusupan? Tidak, tapi ini adalah kebaikan dan pencerahan."
Pada sesi diskusi interaktif, seluruh mahasiswa yang memberi tanggapan menghujat buku tersebut, dan menyatakan bahwa buku ini justru akan menjadi jembatan bersatunya gerakan Islam di Indonesia, dengan membuka kran dialog dan silaturrahmi lebih intensif.
Isu Transnasional
Terkait isu transnasional, Cecep Taufiqurrahman mengatakan, "Buku ini berusaha untuk mencegah ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia. Tapi buku ini mencontohkan NU dan Muhammadiah sebagai gerakan Islam Indonesia. Mereka lupa bahwa NU dan Muhammadiah juga fikrah transnasional. Mereka juga lupa bahwa Islam itu sendiri transnasional."
Terkait isu ini Iswan Kurnia Hasan mengatakan, "Islam tidak mengenal transnasional, yang ada adalah fikrah yang bermanfaat dan merugikan. Jika fikrah transnasional itu bermanfaat maka tidak ada salahnya kita aplikasikan. Seperti halnya Rasulullah Saw. yang menerima ide penggalian khandaq (parit) dari Salman Al-Farisi sebagai strategi dalam perang khandaq, walau ide itu transnasional karena berasal dari Persia." (sn)