Jilbab juga dikenakan sebagai tanda penghormatan oleh polisi perempuan dan sukarelawan non-Muslim yang berkumpul di sekitar lokasi di Christchurch. Hari ini ribuan warga menggelar doa bersama untuk mengenang para korban.
Banyak warga yang mengenakan jilbab untuk pertama kalinya.
“Sungguh menakjubkan betapa saya merasa berbeda dalam waktu singkat ketika saya keluar pagi ini,” kata Stoakes, kepada AFP.
“Ada banyak tatapan bingung dan beberapa yang sedikit agresif,” katanya.
“Saya merasa bangga karena menghormati teman-teman Muslim saya, tetapi saya juga merasa sangat rentan dan sendirian karena saya merupakan satu-satunya orang yang mengenakannya.”
“Harus berani untuk melakukan ini setiap hari.”
Para perempuan tersebut membanjiri Twitter, Facebook, dan media sosial lainnya dengan posting-an mereka mengenakan jilbab.
Kate Mills Workman, seorang siswa berusia 19 tahun dari Wellington, memposting foto selfie di Twitter mengenakan jilbab hijau.
“Jika saya bisa, saya akan menghadiri masjid dan berdiri di luar untuk menunjukkan dukungan saya untuk whanau (bahasa Maori, artinya keluarga) Muslim saya, tetapi saya harus kuliah dan saya tidak bisa melewatkannya,” katanya kepada AFP, menggunakan istilah bahasa Maori untuk keluarga besar.
“Jelas ini semua dipicu oleh tragedi mengerikan di Christchurch, tetapi ini juga merupakan cara untuk menunjukkan bahwa segala bentuk pelecehan atau kefanatikan berdasarkan simbol agama tidak pernah baik-baik saja,” tambahnya.
“Sebagai warga Selandia Baru, kita harus membuat pendirian yang sangat kuat.”
Meskipun jilbab menjadi subyek perdebatan tentang hak-hak gender di dunia Islam, bagi Stoakes betapa seringnya perempuan Muslim yang saleh tidak memiliki pilihan karena posisi dan kedudukannya.
“Kita bisa mengangguk dan berpura-pura setuju dengan orang yang kita takuti, atau mengaku tidak tahu jika kita merasa dalam bahaya konfrontasi,” katanya.
“Tapi seorang Muslim ada di luar sana. Seperti bullseye. Jilbab dan pakaian mereka berbicara sebelum mereka melakukannya.” [IN]