Liga Muslim Pakistan mengajukan rancangan undang-undang larangan segala bentuk kawin paksa yang sudah menjadi tradisi mayoritas masyarakat di negara itu, ke Dewan Nasional Pakistan.
Rancangan undang-undang tersebut digulirkan oleh Ketua Liga Muslim Pakistan-partai yang kini sedang berkuasa-Chaudry Shujaat Hussain. Ia mengatakan, rancangan undang-undang yang disebut Anti-Women Practices Bill akan mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan Pakistan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Rancangan undang-undang ini, menurut Hussain, juga sebagai ujian bagi Presiden Musharraf apakah ia berani mengambil sikap atas rancangan undang-undang yang baru pertamakali diajukan di negara yang terletak di Asia Selatan itu.
Di Pakistan, praktik kawin paksa orang tua terhadap anak perempuannya sudah menjadi hal yang lumrah. Kawin paksa juga sudah menjadi tradisi masyarakat pedalaman Pakistan untuk menyelesaikan pertikain antar keluarga.
RUU itu melarang semua praktek tersebut dengan ancaman hukuman denda dan hukuman penjara selama tiga tahun. RUU tersebut juga melarang pemaksaan terhadap kaum perempuan untuk melakukan apa yang disebut "perkawinan dengan kitab suci al-Quran" yang banyak terjadi di kalangan masyarakat pedalaman Pakistan yang masih sangat konservatif. "Perkawinan dengan al-Quran" merupakan praktik yang memaksa seorang perempuan untuk bersumpah di bawah kitab suci al-Quran untuk tidak menikah. Praktik ini dilakukan untuk mencegah agar perempuan yang bersangkutan tidak mendapatkan hak warisnya.
RUU yang diajukan menyebutkan bahwa praktik mencegah kaum perempuan untuk mendapatkan hak warisnya adalah tindakan yang ilegal dan RUU tersebut mengancam hukuman sampai tujuh tahun penjara bagi para pelakunya.
Terkait dengan hak-hak kaum perempuan, Perdana Menteri Pakistan Shaukat Aziz menegaskan, pemerintah komitmen untuk melindungi hak-hak perempuan. Ia juga mengatakan, lembaga legislasi harus mampu mencegah dan menghentikan eksploitasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Sebelum dilakukan voting, Anti-Women Practices Bill akan dibahas terlebih dulu dalam sebuah komite di parlemen. Tapi sejauh ini belum jelas kapan pembahasan akan mulai dilakukan.
Pada bulan Desember 2006, Presiden Pakistan Pervez Musharraf mengesahkan amandemen undang-undang untuk mempermudah pengadilan melakukan penuntutan dalam kasus-kasus perkosaan. Amandemen tersebut memberi kewenangan pada majelis hakim untuk membawa kasus perkosaan ke pengadilan berdasarkan hukum pidana dan bukan hukum Islam, di mana menurut hukum Islam, harus ada empat saksi untuk mengadili kasus perkosaan.
Amandemen tersebut ternyata menimbulkan gelombang protes di seluruh Pakistan. Mereka yang memprotes menuding Musharraf telah menerapkan nilai-nilai sekuler Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia di Pakistan mengatakan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap kaum perempuan di Pakistan masih sangat tinggi dan pemerintah perlu segera bertindak.
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan pekan kemarin mengungkapkan, sedikitnya 565 kaum perempuan dewasa dan remaja meninggal sepanjang tahun 2006, angka itu naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kaum perempuan tersebut menjadi korban apa yang di Pakistan dikenal sebagai "honour killing", pembunuhan yang dibolehkan demi menjaga kehormatan keluarga. (ln/aljz)