Namun, bagi Emarah, Belanda kini makin tidak toleran. Dia memandang hukum sebagai serangan terhadap Islam dan mengatakan hukum itu secara langsung bertentangan dengan haknya atas kebebasan beragama, seperti yang diabadikan dalam konstitusi Belanda dan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.
Jika dipaksa untuk melepas burka, Emarah menganggap itu memalukan. Apalagi ini adalah pilihan dirinya untuk memakai. “Saya ingin membuat pilihan untuk melepasnya,” tuturnya.
Safa, seorang Muslim berusia 30 tahun, merasa larangan tersebut menebarkan ketakutan di kalangan masyarakat Muslim yang lebih luas, meskipun hanya sebagian kecil wanita, mungkin 150, yang mengenakan burka atau niqab di Belanda. Beberapa temannya yang lebih religius konservatif telah beremigrasi ke negara lain, khususnya Inggris. “Mereka tidak merasa diterima di sini lagi,” jelasnya.
Kendati begitu, Emarah dan wanita lain yang mengenakan niqab atau burka melihat adanya ironi dalam aturan baru Covid-19 di Belanda. Aturan baru ini mewajibkan menggunakan masker di angkutan umum. Wanita, tampaknya, sekarang dihukum karena memakai dan tidak memakai penutup wajah, tergantung pada tujuannya.
“Ini benar-benar kontradiktif,” kata Emarah, yang menganggap kesehatan masyarakat dianggap sebagai alasan yang dapat diterima untuk menutupi wajah, tetapi keyakinan agama tidak.
Sejumlah organisasi, yang dipimpin kelompok Don’t Touch My Niqab, sekarang meminta Kementerian Luar Negeri Belanda, Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat untuk mencabut undang-undang yang melarang burka dan niqab. Mereka meminta itu dicabut karena ada aturan Covid-19 baru-baru ini. Menurut mereka, argumen hukum yang mendukung larangan tersebut tidak berlaku.
(Rol)