Berikut kisah penangkap dan penyiksaan oleh intelejen Mesir yang dituturkan langsung oleh salah satu korban: Peristiwa terjadi pada hari Sabtu, tanggal 27 juni 2009 lalu, saat itu kami di rumah ada lima orang; saya (Fathurrahman-red), Muhammad Yunus, Arzil, Tasri Sugandi dan Jakfar-teman yang sedang bersilaturahmi ke rumah-. Adapun Ismail-seorang rekan rumah kami yang lain-sedang berlibur bersama teman-teman sedaerahnya asal Tapanuli Selatan ke bukit Sinai.
Sekamir pukul 02.30 dini hari waktu Cairo, rumah kami di datangi 12 orang Mabahist (polisi intelejen Mesir). Lima diantaranya berseragam lengkap dengan senjata laras panjang serta pistol. Sementara tujuh orang lainya berpakaian biasa. Salah seorang diantara mereka membawa linggis dengan panjang lebih kurang satu meter, seorang lain membawa alat penggunting kawat.
Setelah membunyikan bel rumah dengan cara yang tidak sopan sama sekali, akhirnya pintu kami buka dengan perasaan takut dan menegangkan. Ketika masuk salah seorang diantara mereka menanyakan pasport, sementara yang lainya langsung menggeledah rumah mencari sesuatu. Pistol dan senjata laras panjang langsung ditodongkan ke kepala kami.
Setelah lebih kurang 15 menit menggeledah, mereka tidak menemukan sesuatu yang dicari. Saya sempat menangkap pembicaraan salah seorang pimpinan mereka melalui telepon, bahwa, apa yang mereka cari tidak di temukan. Sebagian mabahis dimarahi komandannya dan diminta untuk mencari kembali apa yang mereka inginkan, kata pimpinan mereka "sudah kamu periksa apa-apa yang bisa dijadikan bukti dan bisa diambil?". Tak lama kemudian kami diminta untuk menghidupkan semua komputer yang ada. Kebetulan terdapat tiga komputer di rumah. Komputer pertama di periksa, namun mereka tetap tidak menemukan apa-apa. Ketika hendak memeriksa yang kedua, mereka melihat ada bebarapa poster di dinding kamar. Diantaranya poster Syeikh Ahmad Yasin (pejuang palestina), silsilah Pemimpin Hamas.
Melihat itu ekspresi mereka seketika berubah, dan memerintahkan kami untuk mengambil gambar tersebut. Teman saya sempat diminta untuk melakukan hal itu, namun berhubung dia orangnya kurang gesit, langsung saja tiga pukulan keras dari Mabahits mendarat di punggungnya. Sepuluh menit berlangsung, mereka kembali menggeledah rumah dengan brutal dan mengambil beberapa buku karangan DR.Yusuf Qordhowi dan buku-buku lainya yang mereka anggap berbahaya.
Beberapa saat kemudian kami diperintahkan untuk bersiap-siap dan memakai sandal. Selanjutnya kami digiring ke lantai bawah. Disana kami disuruh membentuk barisan, jarak antara kami dan mobil tahanan saat itu kira-kira sekamir 30 meter. Ketika melangkah menuju mobil, satu persatu bagian belakang kepala kami tiba-tiba dihantam pukulan keras, saya tak tahu maksudnya apa dan hampir saja saya terjatuh, begitu juga dengan ketiga teman saya yang lain.
Ternyata di dalam mobil sudah ada seorang tahanan asal Kazakistan yang menunggu dengan mata di tutup kain. Alhamdulillah secara kebetulan saudara kami Jakfar yang masih berumur 16 tahun dibebaskan, dengan alasan belum cukup umur. Saya sempat berpesan kepada Jakfar untuk segera menghubungi Bang Fajar – seorang aktivis di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir-red) yang tinggalnya tak jauh dari rumah kami.
Tepat ketika azan subuh di kumandangkan, kami tiba didekat masjid Nurul Khitab Awal hay sabi’. Di sana kami diturunkan dan digiring ke sebuah kantor. Saya kemudian minta izin untuk wudhu dan sholat, para mabahits itu semula tidak mengizinkan, namun akhirnya dibolehkan. Sepuluh menit menunggu, akhirnya dua orang anggota polisi berpakaian preman datang, satu-persatu mata kami diikat menggunakan kain sambil membentuk satu barisan.
Selang beberapa saat kami digiring ke sebuah ruangan berukuran 4×4 meter. Tempatnya sangat kotor dan pengap, disitulah kami tidur sambil duduk dan tidak boleh melonjorkan kaki hingga pukul delapan pagi. Pada jam diatas kami diberi makan berupa roti ‘isy ( makanan pokok orang Mesir yang terbuat dari gandum) serta sedikit manisan dengan mata tetap tertutup kain.
Setelah sarapan pagi, proses introgasi dimulai. Satu-persatu kami dipanggil. Saat itu kami berjumlah sembilan belas orang. Kami berempat; saya (Fathurahman-red) Yunus, Arzil dan Tasri Sugandi, dua orang berkebangsaan Prancis, seorang dari Kanada, lima orang dari Aljazair dan sisanya dari warga Rusia.
Berselang satu jam setelah azan Zuhur, giliran saya di panggil ke ruangan introgasi. Dengan mata tertutup saya dituntun salah seorang polisi ke suatu ruangan. Saat tiba di ruangan introgasi kemaluan saya langsung disetrum. Kemudian penutup mata saya dibuka sedikit, lalu dihadapkan ke sebuah meja, disana terdapat poster Syeikh Ahmad Yasin. Mereka bertanya, ini milik siapa…? saya jawab, "milik Ismail, orangnya sedang liburan ke bukit Sinai".
Seketika itu juga pantat saya disetrum beberapa kali, kemudian baju saya dilepas paksa oleh salah seorang polisi dan penutup mata saya di ganti dengan baju tersebut. Sementara itu celana saya dilepas dan dipaksa duduk di lantai dalam kondisi tanpa pakaian sehelaipun. Kaki saya di selonjorkan sedikit lalu diikat oleh salah satu polisi dengan tali sabut hingga membekaskan luka, sebab, saya selalu meronta menahan sakit saat disetrum. Masih dalam kondisi duduk, tangan saya ditarik kebelakang, kemudian diikat dengan celana yang yang tadinya dilepas paksa.
Saya dibaringkan dengan tangan terikat. Tepat di paha kiri saya di letakkan sebuah kursi. Mata saya yang sudah di tutup menggunakan baju, ditutup lagi dengan tangan oleh salah seorang polisi. Tangannya yang menggenggam kuat agak mengenai hidung, hingga beberapa kali saya menepisnya karena agak mempersulit saya bernafas.
Sesaat kemudian introgasi kembali dimulai dengan bermacam-macam pertanyaan, diantaranya sebagai berikut :
– Dimana kamu sholat, di rumah atau di masjid?, "sebelum sempat menjawab ujung kemaluan saya disetrum, tak ayal lagi saya menjerit sekuat-kuatnya menahan sakit.
– Apakah kamu sholat di awal waktu…? Kalau saya mood dan lagi enak badan ,jawab saya, namun belum sempat saya meneruskan jawaban, kembali kemaluan saya disetrum. Saya berusaha menutupi kemaluan dengan tangan walaupun terikat, namun seketika itu pula beberapa kali setruman mendarat di tangan kanan saya hingga menyebabkan luka.
– Apakah kamu sering hadir ke kuliah…? Saya kuliah pada waktu tertentu, ketika… cress…setruman itu kembali bersarang ke buah kemaluan saya, hingga beberapa kali pertanyaan yang tidak masuk akal dilontarkan, sebanyak itu pula buah kemaluan saya disetrum.
Sesi berikutnya, alat setruman diambil alih oleh polisi yang lain dengan pertayaan- pertanyaan konyol lainnya:
– Apakah kamu main bola bersama Ikhwan (Nama salah satu kelompok oposisi di Mesir)…?, kamu main bola dengan siapa…? Habib, Jaid atau kamal Mesir…?, tidak…! jawab saya. Kembali setruman mendarat, kali ini di bagian paha kiri saya.
– Kamu punya teman orang Mesir ya.? Tidak…!, Bohong kamu…!, setruman tetap dihujamkan ke paha kiri, hingga menyisakan luka parah sampai saat ini.
– Kamu kenal dengan Osama Bin Laden? Tidak…(setruman dialihkan ke perut kiri).
– Gimana kabar jihadnya sekarang? Saya tidak tahu, saya di Mesir ini hanya main bola, jalan- jalan, chating dan lain-lain.
– Kenapa kamu tidak main bola sama orang mesir? mereka main bolanya bagus-bagus dan badan mereka besar-besar, sementara badan saya kecil.
– Kamu Ikhwanul Muslimin…? Tidak…! kamu Ikhwanul Muslimin kan…? Tidak…! kamu Ikhwanul Muslimin…? Tidak…! Tidak…! kamu Ikhwanul Muslimin kan…? Tidak…! kamu Ikhwanul Muslimin…? Tidak…!
Begitulah setiap kali pertanyaan saya jawab, seketika itu pula mereka memberikan setruman satukali, duakali, tigakali bahkan lebih, tepatnya di paha kiri, perut bagian kiri, serta di kedua puting susu saya. Setelah di setrum berkali-kali seperti itu, saya merasa sudah tidak kuat lagi, sedemikian sakitnya saya sempat memanggil, "Ibu…, Ibu…, Ibu…” hingga beberapa kali.
Setelah penyiksaan berlangsung lebih kurang 15–20 menit, ikatan saya di lepaskan sementara kondisi badan saya sangat lemah, dihantui rasa takut, cemas dan juga trauma. Celana saya dipasangkan kembali tanpa baju. Selanjutnya mereka membuat berita acara kira-kira selama lima menit. Saya di kembalikan ke tempat tahanan awal, saat itu masih di penjara depan Masjid Nurul Khitab, Bersebelahan dengan Universitas Al Azhar putri, di kawasan 7th district. Penjaranya itu terletak di bawah tanah, tepatnya di bawah hadiqah ‘asyir Ramadhan-sebuah taman rekreasi yang berada di tengah kota.
Masih di ruang tahanan saya berdo’a semoga tidak di introgasi untuk kesekian kalinya. Sambil menangis dan merenungi dosa selama ini, saya hanya mampu terkulai lemah. Selang dua puluh menit kemudian, kembali saya dipanggil bersama dua teman satu rumah, Yunus dan Tasri Sugandi. Di introgasi kali ini punggung saya kembali di pukul dengan sebuah papan triplek tipis. Kali ini mereka cuma mencatat data pribadi kami. Sepuluh menit kemudian kami di kembalikan ke ruang tahanan.
Tiga puluh menit selanjutnya saya kembali dipanggil dan diancam akan di setrum seperti sebelumnya jika tidak menjawab dengan jujur. Satu pertanyaan saja yang mereka lontarkan :
– Apa hubungan Osama Bin Laden dan pengaruhnya di indonesai? Sambil setengah menangis saya menjawab, "saya tidak kenal Osama Bin Laden…!"
Detik berikutnya sang polisi tersebut menelpon entah kemana. Yang saya tangkap dari pembicaraannya, si penelepon meminta data dan menyebutkan ciri-ciri tentang saya. Selang beberapa saat, saya kemudian di bawa kembali ke ruang tahanan dengan mata tetap tertutup.
Dua jam berikutnya, kami diberi nasi berpiringkan ‘isy, masakan daging serta sedikit buah anggur merah. Saya makan sekedarnya walaupun sempat di tambahkan nasi. Setalah azan Isya, kami ketiduran namun mendadak dibangunkan dan di paksa makan ‘isy, selai dan keju. Beberapa teman yang satu tahanan kebanyakan mogok makan, namun di paksa menghabiskan dengan alasan biar kuat. Saya sempat terpikir jika dikasih makan banyak seperti ini, berarti persiapan untuk besok agar kuat di introgasi lagi.
Pemindahan dari penjara Nurul Khitob ke penjara Hay Assadis (6th District))
Diperkirakan pukul 11.00 malam waktu Cairo hari itu, kami semua di pindahkan ke penjara Hay Assadis. Saat hendak di pindahkan saya masih tidur, lalu sontak saja dibangunkan. Kami diperintahkan untuk berbaris satu deretan dengan tangan saling memegang pundak teman yang ada di depannya. Kami digiring ke mobil khusus tahanan dengan mata masih dalam keadaan tertutup dari pagi.
Di dalam mobil, penutup mata kami dibuka dan ternyata di sana sudah terdapat salah satu perwira polisi yang menunggu lengkap dengan senjata laras panjang. Lima belas menit perjalanan kami tiba di kantor polisi Hay Assadis, lalu dipaksa turun dengan membuat dua barisan.
Setelah pendataan usai, kami dijebloskan ke sebuah tahanan yang berukaran 3,5 x 4 meter, lalu di isi sembilan belas orang tahanan. Di dalamnya terdapat WC, sebuah lampu penerang 5 watt serta satu lobang udara tanpa jendela, sehingga kami tidak bisa membedakan antara malam dan siang. Selama dalam tahanan ini kami tidak disediakan makanan ataupun minuman, hanya ada air di kamar mandi yang bisa di gunakan untuk bertahan hidup. Selama dua hari dalam tahanan tersebut kami harus beli makanan sendiri melalui polisi penjaga tahanan.
Dengan sisa uang yang kebetulan terdapat dalam kantong kami berusaha membeli makakanan (kami berhutang dengan jaminan ada uang saudara Tasri Sugandi yang disita lebih kurang 700 le). Selama dua hari hanya dua mangkok kusyari (sejenis makan mesir terbuat dari mie) yang kami dapatkan sekedar untuk mengisi perut. Alhamdulillah selama dalam penjara sholat lima waktu selalu kami lakukan berjamaah.
Pada hari rabu tanggal 1 Juli dini hari, tepatnya pukul 02.00 malam waktu Cairo, kami di bebaskan dengan beberapa pesan :
- Jangan belajar dan kumpul-kumpul bersama Ikhwan al -Muslimin.
- Kalian cukup belajar saja selama di Mesir.
- Jika sempat ditangkap kembali kalian akan dipulangkan.
Keluar penjara kami langsung menyetop taksi bersama satu orang lainya yang berkebangsaan Rusia, kebetulan beliau tinggal di Tub Romli, tempat kediaman kami. Tepatnya Pukul 03.00 dini hari waktu Cairo, kami tiba di rumah dengan selamat berkat pertolongan dari Allah SWT serta do’a dari teman-teman semuanya.
Demikianlah kisah penangkapan dan penyiksaan yang kami alami selama berada di penjara, kisah penyiksaan yang dialami rekan saya, Muhammad Yunus belum sempat saya tuturkan di sini. Dan memang tidak semua rekan saya yang ditangkap turut mengalami penyiksaan serupa, hanya saya saja yang mengalami penyiksaan melampaui batas dan melanggar HAM serta tidak manusiawi.
Saya hanya bisa pasrah menyerahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa atas kezholiman yang mereka lakukan kepada kami semua. Doakan kami, agar tetap tabah dan sabar dengan trauma penyiksaan yang sering menghantui. Semoga ada tindak lanjut dari perwakilan pemerintah kita, KBRI di sini terhadap kasus yang kami alami, sehingga mahasiswa kita khususnya di Mesir tidak lagi ditindas dan dilecehkan.
NB : Kisah ini disampaikan langsung oleh saudara Fathurrahman dan Muhammad Yunus (mahasiswa tingkat akhir) serta Arzil dan Tasri Sugandi (Mahasiswa baru yang datang dari tanah air pada tanggal 5 Mei 2009). Penulis menyaksikan dan melihat langsung kondisi korban di tempat kediaman mereka di kawasan Tub Romli, bersama beberapa anggota KSMR (Kelompok Study Mahasiswa Riau) dan beberapa orang KPTS (Keluarga Pelajar Tapanuli Selatan) yang hari itu turut datang menjenguk. Wasallam. Cairo, 2 Juli 2009.