Krisis di Timur Tengah, Negara-Negara Arab Melempem?

Di tengah-tengah kegalauan umat Islam dunia atas agresi militer Israel ke Palestina dan Libanon, mereka berharap bangsa-bangsa Arab bersatu untuk melawan kebiadaban rejim Zionis itu. Namun harapan itu seperti sulit terkabul, sikap bangsa-bangsa Arab masih terbagi dua dalam menyikapi persoalan Israel.

Sekjen Liga Arab Amr Mussa mungkin bersikap terlalu optimis dalam pernyataannya menjelang pertemuan darurat para menlu Liga Arab di Kairo pada Sabtu (15/7). Karena kenyataannya, sejumlah menlu negara Arab masih enggan bersuara ‘keras’ untuk mengecam agresi militer Israel dan menyatakan mendukung kelompok pejuang di Libanon. Mereka, seperti biasanya, cenderung bersikap klise dalam pernyataannya.

"Semua mekanisme, termasuk tim kuartet sudah gagal dalam proses perdamaian, bahkan punya kontribusi dalam mengubur upaya itu. Satu-satunya cara untuk mempertahankan proses perdamaian adalah membawanya kembali ke Dewan Keamanan," kata Mussa.

Pernyataan sikap para menlu negara-negara Arabterhadap serangan Israel ke Libanon dan Palestina, masih diwarnai perbedaan pandangan terutama antara menlu Suriah dan Arab Saudi, khususnya terkait dengan kelompok Hizbullah.

"Sejumlah negara telah mengambil keputusan yang terlalu terburu-buru yang justru melemahkan posisi Arab," kata Menlu Suriah, Walid al-Mualim. Pernyataannya itu ditujukan pada Arab Saudi yang mengkritik tindakan Hizbullah menculik dua serdadu Israel dan membunuh delapan tentara Israel lainnya. Arab Saudi juga menuding Hizbullah bertanggung jawab atas meluasnya kekerasan.

"Ini bentuk campur tangan yang kasar dalam masalah dalam negeri negara Saya, satu hal yang Saya tolak secara total. Mimpi-mimpi Anda mengerikan," kata Menlu Arab Saudi Saud al-Faisal tak mau kalah, menjawab kritik Suriah.

Suriah rupanya didukung oleh Kuwait. Menlu Kuwait, Muhamad al-Sabah mengatakan,"Tidak, mimpi-mimpi mereka punya harapandi tengah situasi Arab saat ini yang tidak memiliki ruang terhadap petualangan-petualangan yang tidak direncanakan."

"Persatuan Arab adalah hal terbaik yang bisa kita capai. Saya sangat menyesalkan atas apa yang telah diutarakan saat ini," tambah Mualim.

Meski terjadi pertentangan, sumber-sumber di kalangan diplomat Arab mengungkapkan bahwa para menlu negara Arab kini terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, Yordania, Mesir, Bahrain, Irak dan Palestina. Kelompok ini ingin meredakan ketegangan antara Libanon-Israel dan Palestina-Israel. Mereka cenderung menyebut Hizbullah "tidak bertanggung jawab.’"

Kubu kedua terdiri dari Suriah, Aljazair, Libanon, Sudan, Yaman dan Qatar. Kubu ini mendukung kelompok pejuang di Libanon dan Palestina yang sedang memperjuangkan hak-hak bangsa mereka.

Pada akhirnya, keterangan pers usai pertemuan darurat Liga Arab di Kairo, akhir pekan kemarin, menyisakan banyak pertanyaan yang tak terjawab. Sehingga menimbulkan kesan bahwa negara-negara Arab tidak bisa bertindak lebih jauh daripada semata-mata hanya mengutuk agresi Israel terhadap Libanon dan Israel.

Banyak jurnalis yang mengkritik pertemuan yang dinilai tidak menghasilkan apa-apa. Seorang jurnalis yang menanyakan apa yang akan dilakukan negara-negara Arab selain menggunakan saluran diplomatik, untuk melawan agresi Israel. Pertanyaan itu dijawab Sekjen Liga Arab Amr Mussa dengan datar-datar saja, tanpa memberikan detil yang jelas.

"Pertemuan negara-negara Arab selalu berakhir seperti itu," kritik sejumlah pengamat. (ln/iol)