Umar ibn Abd Azis memberikan gaji yang besar untuk para pejabat negara, 300 dinar (setara dengan Rp1,2 Miliar). Kesejahteraan itu lebih dari cukup, sehingga tak ada ampun bagi pejabat yang melakukan korup atau suap.
Pada masa Daulah Abbasiyah, Khalifah Jafar al-Mansur telah berinisiatif mendirikan Diwan al-Musadirin seperti yang ditulis Mohammad Hashim Kamali dalam “Islam Prohibits All Forms of Corruption”
Dewan ini bertugas menangani persoalan korupsi dan suap yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, kontraktor, dan semua pihak yang memiliki hubungan usaha dengan pemerintah. Lembaga ini semacam KPK yang kita kenal sekarang.
Omer Duzbakar dalam artikelnya, “Bribery in Islam-Ottoman Penal Codes and Examples From The Bursa Shari’a Court Records of 18th Century” menyebutkan, tradisi ini dilanjutkan pada masa Daulah Utsmani.
Pada masa Sultan Muhammad IV tak hanya dewan inspeksi yang bertugas mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat, ia juga membentuk lembaga pengadilan khusus penanganan penyimpangan wewenang oleh pejabat negara atau yang disebut Mazalim.
Hukuman yang diberikan pada penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi adalah penjara dan dicopot dari jabatannya.
Pada kasus berat diberlakukan hukum pembuangan ke pengasingan. Seperti yang tercatat pada kasus mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti melakukan korupsi, ia diasingkan ke Mytilene.
Semua hukuman itu disertai kewajiban untuk mengembalikan harta yang dikorupsi. Pada abad ke 18 mulai diberlakukan hukuman mati untuk para pelaku korupsi. Perilaku korup dan suap ini mengingatkan saya pada umat Nabi Syuaib di Negeri Madyan yang berlaku curang dalam timbangan. Hingga Allah turunkan azabnya.
‘‘Kemudian mereka mendustakan Syuaib lalu ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan, sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar.” (QS Asy syu’araa: 189). (rol)
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveler