Ketetapan menghilangkan pembatas yang memisahkan jamaah pria dan wanita di sebagian masjid di San Fransisco Amerika, mengundang pendapat pro dan kontra di kalangan kaum muslimin.
Muhammad Sa’di, peneliti syariah di Islamonline.net mengatakan, “Jamaah wanita melakukan shalat di belakang jamaah pria dimasjid Rasululah saw, di masa setelahnya, tanpa ada batas antara shaf pria dan wanita. Syaratnya, jaminan keamanan dari fitnah dan kaum wanita keluar ke masjid dengan tetap menjaga etika syariah.”
Harian New York Times (25/6), menyebutkan, “perselisihan pendapat muncul setelah penghilangan batas setinggi 8 kaki.” Yang ada setelah penghilangan batas itu, hanya tulisan, “wilayah shalat khusus untuk wanita”, tanpa pembatas. Menurut pemberitaan New York Times, penghapusan batas antara jamaah pria dan wanita itu, targetnya bukan untuk membaurkan kaum wanita dani pria dalam masjid, tapi untuk memberi kemudahan bagi jamaah wanita untuk maju ke depan, saat diperlukan.
Terkait dengan masalah ini, Sulaiman Ghali, anggota Yayasan Islam di San Fransisco mengatakan, “Pemberian batas, merupakan salah satu masalah perbedaan pemahaman yang didatangkan oleh para imigran.” Ia sebagai pendukung penghilangan pembatas mengatakan, dirinya yakin akan ada perkembangan Islam di Amerika yang berbeda dengan apa yang ada di Timur Tengah dan sebagian wilayah Islam lainnya. “Sudah saatnya kita lepas dari tradisi kurang baik itu,” ujarnya.
Sementara Dr. Muzammil Shadiqi, Mantan Ketua Jam’iyah Islamiyah di Amerika Utara mengatakan, “Dalam Islam tidak ada larangan perkumpulan pria dan wanita di dalam masjid, baik untuk melakukan shalat maupun acara keIslaman lainnya dengan tanpa pembatas.” Jika diperlukan sesuatu untuk membatasi wilayah shalat jamaah wanita dan pria, menurutnya, tidak mengapa dibuat sekedar pembatas saja.
Sifiem Kalionku, penulis Muslim Amerika asal Turki mengatkan, “Sebelum ini, imam hanya berceramah dengan menghadapi jamaah pria, tapi sekarang jamaah pria dan wanita mendengarkannya, sehingga penceramah bisa mengatakan “kaum Muslimin dan Muslimat” dalam ceramahnya, karena kaum wanita sekarang sudah menjadi bagian dari jamaah di masjid yang bisa dilihat keberadaannya.”
Tapi ada pula sebagian orang yang justeru menginginkan adanya pemisah berupa tembok. Ada sekitar 400 orang yang berpendapat seperti ini. Mereka yang umumnya terdiri dari kaum wanita melakukan demonstrasi mengarah ke depan masjid sambil mengangkat spanduk bertuliskan “Kami ingin pembatas.”
Zainab Alande (50) mengatakan, “Sebagai wanita, saya lebih merasakan keamanan ketika shalat di belakang tembok pembatas. Dan sebagai orang yang berjilbab saya tidak ingin berbaur dengan kaum pria.” Sementara seorang pria yang juga menginginkan pembatas tembok di masjid, mengatakan, “Saya tidak ingin terganggu pikiran saat saya shalat, karena adanya kaum wanita di belakang, tanpa pembatas.”
Menurut kajian CAIR, tahun 2001, ada lebih dari 1.200 masjid di Amerika. Dan sebanyak 66% dari total masjid itu membuat tembok pembatas untuk memisahkan jamaah wanita dan pria, atau menyediakan ruangan khusus untuk jamaah wanita. (na-str/iol)