Sementara Presiden AS George W. Bush gencar menggalang dukungan internasional agar Iran menghentikan program nuklirnya, Kongres AS mengingatkan Bush untuk tidak mengulang kesalahan yang sama dengan apa yang pernah dilakukannya terhadap Irak.
Dalam laporannya, Rabu (23/8), Kongres AS mengingatkan adanya ‘gap yang signifikan’ dari laporan-laporan intelejen yang didapat pemerintah Bush tentang Iran. Gap itu, menurut Kongres bisa menjadi kelemahan-kelemahan yang akan menimbulkan dampak serius, seperti yang pernah terjadi dalam laporan intelejen AS tentang Irak yang akhirnya sampai pada keputusan bahwa AS harus menginvasi Irak.
Laporan terbaru yang disusun oleh para staff komite intelijen dewan perwakilan rakyat AS itu menyatakan bahwa pemerintah AS tidak memiliki perangkat yang kuat untuk memainkan tawar-menawar yang keras dalam masalah Iran. Laporan itu juga menyebutkan bahwa posisi AS masih sangat lemah dalam menilai seberapa besar kekuatan militer Iran.
"Ditemukan ‘gap yang cukup signifikan’ sepanjang sepengetahuan dan pemahaman kami tentang berbagai persoalan tentang Iran. Dan para pembuat kebijakan masih membutuhkan laporan-laporan intelelijen berkualitas tinggi untuk melakukan penilaian atas maksud-maksud Iran menawarkan tahap negosiasi yang baru," demikian isi laporan tersebut.
Pada hari Selasa kemarin, Iran sudah menyatakan menolak ultimatum Dewan Keamanan PBB agar Iran segera menghentikan pengayaan uraniumnya pada akhir bulan Agustus ini. Dalam jawaban resminya setebal 21 halaman, Iran kembali menawarkan ‘pembicaraan serius’ dalam masalah program nuklirnya.
Para diplomat AS mengatakan, negaranya akan mengkonsultasikan respon Iran itu pada sekutu mereka negara-negara Eropa. Sementara anggota tetap dewan keamanan PBB, Rusia dan China sudah menyatakan enggan menjatuhkan sangsi keras pada Iran.
Namun sejumlah analis mengatakan bahwa posisi Iran atas negosiasi baru itu justru makin kuat. Royal Institute of Internasional Affairs di Catham House dalam analisanya menyebutkan, bahwa Iran diuntungkan dari kampanye perang melawan terorisme AS di Timur Tengah, dengan tumbangnya rejim Saddam Hussein di Irak dan rejim Taliban di Afghanistan.
Menurut analisa itu, agenda yang dimotori AS untuk melakukan konfrontasi dengan Iran, semata-mata karena rasa percaya diri AS di Timur Tengah. Selama ini Iran melihat Irak seolah-olah sebagai ‘halaman belakang rumahnya’ sendiri tapi kini Iran-lah yang menggantikan AS sebagai kekuatan yang paling berpengaruh di wilayah tersebut.
Perang Hizbullah melawan Israel, makin memperkuat pengaruh Iran di Timur Tengah karena negara-negara Arab sudah dianggap tidak bersikap kritis terhadap AS yang mendukung Israel. Ditambah lagi, Hizbullah yang mendapat dukungan Iran kini mampu merebut opini publik Arab atas keberhasilannya menghadapi Israel. (ln/TheGuardian)