Upaya untuk menjembatani jurang pemisah yang makin dalam antara Muslim dan Barat, terus dilakukan oleh para pemuka agama Islam. Selama tiga hari, mulai Senin (6/3) kemarin, para ulama Muslim dan pemuka agama Kristen berkumpul dalam konferensi bertema ‘We and Other’ yang diselenggarakan High Committee for Suppoting Moderation, Kementerian Waqaf dan urusan agama Islam Kuwait.
Dalam pertemuan itu, para pemuka Islam dan Kristen meyakini bahwa dialog, kebersamaan dan toleransi adalah solusi untuk menjembatani jurang pemisah antara Muslim dan Barat. Selain itu, konferensi ini juga bertujuan untuk lebih menegaskan lagi bahwa Islam adalah agama yang penuh toleransi dengan umat beragama lainnya. Hal tersebut ditegaskan oleh Kementerian Waqaf dan urusan agama Islam Kuwait, Abdullah Matuq,"Konferensi ‘We and Other’ bertujuan untuk menegaskan Islam yang toleran dan membuktikan bahwa toleransi bukan hal yang klise tapi sebuah fakta kehidupan dalam Islam."
"Islam mengajarkan kami bahwa kebersamaan dengan semua orang berdasarkan pada sikap saling memahami dan selalu mencari jalan tengah dengan yang lain. Tidak seorangpun berhak untuk memaksakan agama atau bahasa kepada orang lain," sambungnya.
Pemuka Islam lainnya yang hadir dalam konferensi itu antara lain Imam Besar Al-Azhar, Kairo Syeikh Muhammad Sayyed Tantawi. Ia mengatakan, perbedaan seharusnya membuat manusia lebih kuat. "Al-Quran memberikan ruang yang lapang bagi perbedaan agama dan mendorong adanya dialog dan hidup berdampingan dengan sesama," kata Syeikh Tantawi.
Selain Syeikh Tantawi, hadir pula para cendikiawan dan pakar Muslim seperti Ketua Mufti Mesir, ‘Ali Jumu’ah dan Menteri Waqaf Sudan, ‘Esam Al-Bashir. Pemuka agama Kristen diwakili oleh Uskup Amanuel Gharreb dan Profesor dari Bonn University, Meklosh Morany.
Dominansi Barat
Bicara masalah toleransi, sejumlah ulama menyalahkan Barat yang dinilai tidak mampu memahami duni Islam dan tidak menghormati karakteristik umat Islam.
"Problem dengan Barat adalah, Barat tidak mau mengakui Islam sebagai agama yang baik dan tidak melihat umat Islam sebagai bagian dari dunia ini, apalagi dengan keengganan Barat untuk menghormati karakteristik budaya umat Islam," kata Menteri Waqaf Sudan, ‘Esam Al-Bashir.
"Bagaimana bisa Barat mendasarkan dirinya pada multikulturalisme sementara mereka mengabaikan keberadaan pihak lain?" tanyanya. Al-Bashir menuding Barat berupaya memaksakan peradabannya ke seluruh dunia.
Pemikir asal Mesir Basim Khafaji menambahkan, Barat seharusnya tidak perlu takut dengan Islam dan umat Islam. Barat selayaknya juga memberikan ruang bagi umat Islam untuk mengekspresikan kebebasannya dan tidak perlu membentuk sebuah rejim yang tidak bisa diterima oleh umat Islam sendiri.
Khafaji mendesak Barat untuk lebih memahami fakta bahwa umat Islam tidak bisa menerima penghinaan terhadap simbol-simbol agama dan hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan mereka. Ia mencontohkan kasus publikasi kartun Nabi Muhammad Saw beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Uskup Amanuel Gharreb juga meminta umat Islam untuk mengoreksi persepsinya terhadap Barat dan mengakui keberadaan Barat. Ia menegaskan pentingnya menciptakan atmosfir yang bisa menghancurkan penghalang dan memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk saling mengenal lebih dekat.
"Sementara melakukan dialog dengan Barat, etiket dialog harus berdasarkan pada pengetahuan atas standar-standar yang normal dalam menjawab pihak lain tanpa melihat sekte atau rasa," kata Profesor Morany dari Bonn University.
Disela-sela konferensi tersebut, diputar film dokumenter berjudul ‘ Western Perception of Islam and Muslim.’ Film ini berdasarkan study yang dilakukan oleh Kementerian Waqaf Kuwait di AS, Belanda, Perancis, Jerman dan Inggris.
Dari hasil studi itu disimpulkan bahwa 25 persen sampel yang meliputi kalangan peneliti, ilmuwan, intelektual dan warga biasa, ternyata memiliki imej buruk terhadap Islam dan umat Islam. 25 persen sampel lainnya, memiliki imej yang baik terhadap Islam dan umat Islam dan 40 persen ternyata tidak tahu banyak informasi tentang Islam dan Muslim. (ln/iol)