Hingga akhirnya ia meyakinkan polisi bahwa ia berusaha membantu para sandera. Berkat informasi tentang tata letak toko yang disediakan Bathily, polisi dapat mengakhiri pengepungan tanpa membahayakan sandera.
“Kami adalah saudara. Ini bukan masalah orang Yahudi, Kristen atau Muslim. Kita semua berada di kapal yang sama, kita harus saling membantu untuk keluar dari krisis ini,” kata Bathily, dilansir di Algemeiner, Rabu (8/1).
Dalam film dokumenter tersebut, Bathily menggambarkan fakta ia dan Coulibaly berasal dari Mali. Ia mengatakan, ia datang ke Prancis pada usia 15 tahun menyusul ayahnya dan kemudian pergi bekerja.
“Antara Amedy Coulibaly dan aku, satu-satunya perbedaan adalah dia lahir di Prancis, sedangkan aku lahir di Mali. Kami berbicara dalam bahasa yang sama, kecuali ia mendapat manfaat dari pendidikan Prancis dan saya dari pendidikan Afrika,” ujarnya.
Di salah satu bagian film, Bathily mengunjungi kerabatnya di Mali. Salah satu produsen film dokumenter, Pierre-Olivier François, menuturkan faktanya mereka bisa pergi bersama ke desa Bathily di Afrika. Sebab, kata dia, mereka memahami seberapa besar Bathily terpengaruh oleh pendidikannya.
“Dia memiliki keluarga dan orang tua yang memberinya nilai-nilai yang kuat. Dia mengatakan bahwa agamanya membantu dia membuat pilihan yang tepat ketika itu diperlukan,” kata Francois.
Sebelas hari setelah aksi kepahlawanannya, Bathily dinaturalisasi sebagai warga Prancis. Saat ini, ia bekerja di Departemen Olahraga Balai Kota Paris.(kl/rol)