Khawatir Hukum Syariah, Anggota Parlemen Eropa Pertanyakan Dana Bantuan untuk Aceh

Bantuan dana Aceh untuk apa? Kalimat ini menjadi judul salah satu artikel berita di situs radio Nederland. Di dalamnya diuraikan keresahan salah seorang anggota parlemen Eropa dari partai Kristen-demokrat Belanda CDA, Albert Jan Maat, yang meminta kejelasan Komisi Eropa tentang bantuan dana Eropa untuk pembangunan kembali Aceh.

Menurut radio Nederland, Uni Eropa menyalurkan lebih dari 200 juta euro untuk pembangunan kembali Aceh pascabencana tsunami. Dana ini disalurkan lewat pemerintah Indonesia, dan antara lain dipakai untuk memperbaiki sarana dan prasarana kehidupan penduduk Aceh.

Lalu apa yang membuat resah Albert Jan Maat? ternyata bukan soal sumbangan tersebut namun karena di Aceh kini diberlakukan pengadilan yang menerapkan yurisdiksi Syariah. Karena alasan itu, Albert Jan Maat meminta jaminan agar dana Eropa tidak digunakan untuk mendirikan pengadilan Syariah.

Radio Nederland lalu mengurai rangkuman wawancara dengan anggota parlemen Eropa, Albert Jan Maat. Menurut Jan Maat dana bantuan Eropa untuk Aceh, sebaiknya tidak dipakai untuk pendirian pengadilan Syariah, yang di sebagian besar Indonesia masih merupakan isu kontroversial.

Maat sendiri mengaku mendorong dialog antara pelbagai kelompok agama. "Pemerintah Indonesia, kelompok-kelompok Muslim dan moderat dan gereja Kristen, telah mengambil pelbagai inisiatif bagus untuk itu. Melakukan dialog merupakan langkah sangat baik, karena agama sangat penting bagi rakyat Indonesia. Tapi ini tidak berarti bahwa Uni Eropa juga harus mendanai inisiatif-inisiatif yang malah bisa menjadi pemisah antar agama."

Memang menurut Maat, masyarakat Aceh bisa memutuskan sendiri apakah ingin menerapkan hukum Syariah. Tapi Uni Eropa sebagai pemberi dana pembangunan kembali Aceh, sebaiknya tidak memihak.

Logika Maat dalam hal ini memang menjadi bias dan paradoks. Di satu sisi dapat memahami realitas masyarakat mayoritas Muslim yang ada di Aceh dan menetapkan hukum syariah untuk mereka, di sisi lain, Maat menganggap pelaksanaan hukum Syariah itu bersifat memihak.

Maat sebagaimana dilansir Radio Nederland juga mengungkapkan, banyak LSM dan organisasi-organisasi hak-hak asasi manusia prihatin atas perkembangan di Aceh. Namun ia tidak menjelaskan secara detil pernyataannya itu.

"LSM dan pelbagai organisasi ham cemas, penerapan hukum Syariah berdampak negatif terhadap dialog antar agama. Masalah ini juga dibahas dalam parlemen Indonesia," tulis Radio Nederland mengutip perkataan Maat. Menurut Maat, Uni Eropa harus menanggapi serius suara-suara seperti itu.

Langkah-langkah yang bisa diambil Uni Eropa menurut Maat antara lain memberi kejelasan tentang tujuan dana bantuan untuk Aceh. Kedua, memberi kejelasan bagaimana bisa mendorong dialog di Aceh sendiri, dengan melibatkan semua kelompok masyarakat dan agama. Menurut Maat, ini adalah salah satu norma penting yang dijunjung tinggi Uni Eropa.

Lebih jauh Maat menilai bahwa hukum Islam bisa merugikan pelbagai kelompok masyarakat lain atau Muslim moderat. Secara sepihak Maat berpendapat bahwa hukum Islam adalah produk hukum ekstrimis yang negatif dan jauh dari kemaslahatan serta menekan agama lain.

Menurut Maat, banyak LSM dan organisasi hak-hak asasi manusia misalnya menunjuk pada masalah hak-hak perempuan, dan juga syarat-syarat berpakaian.

Memang, menurut Maat hukum Syariah juga banyak positifnya, karena toleran, mempertimbangkan situasi pelaku dan posisi korban. Tapi di sisi lain juga dipertanyakan apakah hukum Syariah bisa mendorong dialog yang lebih baik antara pelbagai kelompok masyarakat. (na-str/rdnland)