Minyak selalu menjadi isu sentral dan senantiasa dilihat sebagai salah satu pemicu konflik di Timur Tengah, tak terkecuali pula dalam konflik Amerika Serikat (AS)-Iran saat ini. Pemimpin tinggi Republik Iran Ayatulloh Ali Khamenei mengancam akan memotong saluran minyak jika AS melakukan tindakan keliru terhadap negaranya.
Khamenei dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi Iran mengatakan, “Teheran tidak akan mundur dari haknya memproduksi bahan bakar nuklir.” Ia mengingatkan AS dan sekutu-sekutunya, “Kalian tidak akan pernah mampu membuat upaya perlindungan apapun terhadap saluran pipa minyak yang melewati selat sempit Hormuz.”
Setiap hari Iran menghasilkan empat juta barrel, termasuk 2,5 juta barrel untuk kepentingan ekspor. Pengurangan atau penghentian ekspor BBM Iran dapat mengacaukan persediaan minyak di pasar global, yang memicu kenaikan harga. Posisi Iran dalam perdagangan minyak global bertambah strategis karena mengontrol Selat Hormuz sebagai jalur vital pelayaran minyak, yang juga digunakan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain.
Taruhannya memang tidak kecil jika Iran dijatuhi sanksi atas isu nuklir. Bukan hanya Iran kerepotan, tetapi juga masyarakat global. Perekonomian dunia akan terpukul. Perhatian AS pada minyak di Timur Tengah semakin besar setelah aksi boikot minyak Arab menyusul perang Arab-Israel tahun 1973.
Presiden AS Jimmy Carter (1976-1980), pernah menetapkan Prinsip Carter yang mengharuskan AS mengamankan dengan segala cara suplai minyaknya. Prinsip tersebut menegaskan, bila muncul ancaman, maka AS harus menggunakan segala cara termasuk kekuatan militer untuk menjamin terus mengalirnya suplai minyak.
Pada masa perang Irak-Iran (1980-1988), kapal-kapal perang AS turun tangan mengawal kapal-kapal tanker minyak dari Teluk Arab melalui selat sempit Hormuz menuju negara-negara barat, menyusul Iran saat itu mengancam akan menyerang dengan rudal semua kapal tanker yang lewat Selat Hormuz. (na-str/iol,kmps)