Ketua World Halal Forum (WHF) menyerukan negara-negara Muslim untuk membuat standar halal yang bersifat global bagi industri makanan.
Menurut Ketua WHF, Khairy Jamaluddin, pembuatan standar halal itu untuk menghindari kebingungan dalam kaitan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam ajaran agama dan untuk lebih mendorong berkembangnya industri makanan halal yang makin marak.
"Seharusnya ada standar halal yang bersifat global bagi industri ini untuk mencegah adanya sejumlah ulama di suatu tempat, yang benar-benar tidak tersentuh sektor swasta dan industri makanan, yang memutuskan apa yang halal dan tidak halal, " papar Khairy.
"Seharusnya bukan sebuah lembaga atau seorang pakar di suatu tempat di Arab Saudi yang memutuskan apa yang halal dan tidak, karena mereka tidak memiliki petunjuk tentang apa saja yang terkandung dalam makanan-makanan olahan, " sambungnya.
Khairy yang juga menantu PM Malaysia Abdullah Badawi ini mengatakan, saat ini, standar kehalalan suatu produk yang berlaku di sejumlah negara sangat bervariasi. Tak jarang standar yang berlaku malah membingungkan konsumen dan memaksa produsen untuk melakukan proses sertifikasi berulang-ulang di negara-negara yang regulasinya berbeda-beda.
Terkait dengan persoalan ini, Menteri Perdagangan Malaysia Rafidah Aziz dalam pidatonya pekan ini mengatakan, harus ada pemahaman yang lebih besar terhadap berbagai aspek dalam hal akreditasi halal bagi sebuah produk barang dan jasa. "Termasuk memastikan bahwa bisa saja terjadi perbedaan atau kesamaan dalam penerapan standar halal secara global, " jelas Rafidah.
Perbedaan Pendapat dengan Ulama
Lebih lanjut Khairy mengatakan, untuk membuat standar halal yang bersifat global bukan pekerjaan yang mudah karena akan bersentuhan dengan para ulama di berbagai negara. Menurutnya, memberikan penjelasan pada para ulama tentang kebutuhan industri global, tidaklah mudah.
Ia mencontohkan soal makanan laut. Sejumlah ulama, kata Khairy, menilai semua makanan laut halal, sedangkan ulama lainnya menilai lobster, udang laut dan belut tidak termasuk makanan halal. Perbedaan pendapat juga masih terjadi seputar, kapan makanan laut bisa disebut halal. Apakah ketika ditangkap dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati.
Bahkan makanan yang mengadung zat emulsi, gelatin dan enzim, kalangan industri makanan dan ulama masih berdebat, karena kandungan asli dari bahan-bahan tersebut kadang tidak diketahui dengan jelas.
"Banyak ilmu dan riset yang perlu digali untuk masalah ini, " kata Khairy.
Ia menegaskan bahwa para ulama harus benar-benar meneliti kandungan bahan-bahan tambahan dan metode pengolahan makanan, sebelum mengeluarkan fatwa halal pada setiap makanan.
Prospek Industri Produk Halal
Malaysia mempekirakan, omset industri makanan halal, saat ini mencapai 547 milyar dollar dan bisa mencapai angka satu trilliun dollar di masa depan. Industri produk halal sangat menjanjikan karena pasarnya tidak lagi terbatas pada konsumen Muslim tapi juga non Muslim, makin banyak yang mulai tertarik dengan produk halal.
WHF rencanannya akan menggelar kembali pertemuan tahunannya di Kuala Lumpur pada bulan Mei mendatang. Dalam pertemuan ini akan dihadirkan para ahli, kalangan industri dan pejabat pemerintah dari 30 negara lebih.
Pertemuan yang akan berlangsung selama dua hari itu akan membahas tantangan dan kesempatan bisnis serta manufaktur bagi pasar produk halal.
Malaysia adalah salah satu negara Muslim yang produk-produk makanan halalnya sudah diakui dunia. Malaysia membangun zona produksi produk makanan halal di enam negara bagiannya. Distribusinya dipusatkan di selatan negara bagian Johor dengan menerapkan zona pengapalan bebas pajak.
Sejak tahun 2004, Malaysia juga sudah menerbitkan majalah dua bulanan The Halal Journal. Majalah pertama yang mempublikasikan sektor bisnis dan perdagangan produk-produk halal. (ln/iol)