Ketika Taliban berjuang dari desa ke desa, seorang pria muda bernama Mohammed Noor melarikan diri dengan beberapa temannya ke pegunungan, dan ia mencari-cari kesempatan untuk bergabung dengan pasukan lain yang sedang memburu pejuang Taliban.
"Perut saya selalu lapar,” ujarnya. "Dan kami tak punya pilihan."
Peruntungannya berubah suatu hari ketika sebuah pesawat Amerika terbang di atas dan menjatuhkan ransum militer dan pakaian. Mulai saat itu, ia tampaknya hidup bergantung dari pasokan tentara asing.
Sekarang, Mohammed Noor mengendarai sebuah Ford Ranger yang dihiasi dengan lambang Polisi Nasional Afghanistan. Dia murah senyum dan selalu mengenakan kacamata hitam, dan memakai revolver di punggungnya. Dia berusia 30 tahun, dan setengah hidupnya telah ia dedikasikan untuk memerangi Taliban.
Dengan sedikit bantuan dari koalisi internasional, ia bekerja dan "mencoba melindungi" Kunduz.
Tetapi ketika pasukan AS dan sekutu mulai menarik diri, Mohammad Noor gamang. Ia melihat bahwa Taliban semakin kuat, dan mendapatkan dukungan dari rakyat berbagai daerah di Afghanistan
Berapa gaji yang ia terima selama ini? "Untuk pekerjaan yang kami lakukan, tentu saja, itu tidak cukup. Tapi itu sudah cukup bagi saya untuk menghidupi keluarga saya.”
Ia menambahkan, "Saya melakukan ini untuk anak-anak saya, bagi pemerintah saya, untuk negara saya," ujarnya. "Kami tidak akan membiarkan Taliban mengambil alih tempat ini.”
Noor mungkin tidak pernah belajar dari sejarah, bahwa mereka yang menikam bangsanya sendiri, tidak akan pernah selamat dan akan menjadi hinaan dan pesakitan sepanjang masa. Jika di Afghanistan kekurangan contoh, Yasser Arafat di Palestina mungkin bisa dilihat sebagai salah satunya. (sa/politicsdaily)