Kesepakatan gerakan Fatah dan Hamas kembali menemui hambatan. Kamis (16/11) kemarin, Presiden Palestina Mahmud Abbas menyatakan menolak pencalonan Prof. Muhammad Shabir sebagai Perdana Menteri Palestina yang baru menggantikan PM Ismail Haniyah dalam pemerintahan persatuan nasional yang akan dibentuk akhir November ini.
Dalam pertemuan puncak antara gerakan Fatah dan Hamas di Jalur Gaza, Ahad (12/11), yang dihadiri oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas dan PM Ismail Haniyah, dicapai kesepakatan untuk menunjuk satu nama calon yang akan menggantikan Ismail Haniyah, yang tidak lain adalah Prof. Dr. Muhammad Shabir. Kemunculan nama Shabir sebagai calon menggantikan Haniyah sebenarnya sedikit banyak telah memecahkan teka-teki sosok model apa yang akan memimpin pemerintahan persatuan nasional Palestina mendatang, di samping membuka kebuntuan dialog antara Hamas dan Fatah.
Menurut laporan The Palestinian Information Center, penolakan Abbas ini disebabkan oleh ketidak-sukaan Israel dan Amerika serta beberapa negara Arab terhadap Shabir, yang dinilai memiliki hubungan dekat dengan gerakan Hamas.
Sejumlah sumber Palestina menyebutkan keberhasilan atau kegagalan musyawarah pembentukan pemerintahan persatuan nasional telah ditentukan pada pertemuan Kamis kemarin, bersamaan dengan berakhirnya pertemuan antara Abbas dan Haniyah.
Dengan penolakan Abbas atas pencalokan Shabir ini, maka satu-satunya calon yang tersisa untuk mengisi kursi perdana menteri Palestina dalam pemerintahan yang baru mendatang adalah, Ir. Jamal Naji al-Khudhari (Menteri Perhubungan Palestina saat ini). Dia juga menjabat sebagai ketua dewan pengelola Universitas Islam Gaza. Najji adalah salah satu dari empat calon yang diajukan untuk menduduki jabatan perdana menteri. Tiga calon sudah ditolak oleh pihak kepresidenan, mereka adalah DR. Basem Naim, Kholid al-Hindi dan Prof. Muhammad Shabir.
Sumber-sumber tadi meyakini, besar kemungkinan Khudhari akan menolak jabatan ini. Hal itu dikarenakan adanya berbagai tekanan atau persyaratan yang diminta negara-negara Kuartet (AS, PBB, Uni Eropa dan Rusia) dan masyarakat internasional. Karena yang diinginkan dari pemerintahan baru Palestina nantinya adalah pengakuan terhadap entitas Zionis Israel serta menyetujui seluruh kesepakatan yang telah dibuat antara pemerintahan Palestina sebelumnya yang dipimpin Fatah dengan pemerintah penjajah Israel, sebagai prasyarat untuk membebaskan rakyat Palestina dari embargo internasional.
Di samping itu, beberapa pihak dari kalangan Fatah melakukan segala usaha untuk menggagalkan pembentukan pemerintahan persatuan nasional. Menurut mereka, pemerintahan seperti ini justru akan meningkatkan peran gerakan Hamas di Palestina. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai pembentukan pemerintahan persatuan nasional Palestina suatu saat akan sangat berbahaya dan tidak menutup kemungkinan akan meledak dan menghancurkan semua cita-cita bangsa, yaitu berakhirnya semua penderitaan yang selama ini dialami rakyat Palestina akibat penjajahan Israel. (was/pic)