Setiap ada kelahiran baru, ia mengaku menyuap dan membayar pejabat setempat. Namun mereka mengaku telah diberi peringatan.
Ablikim menyampaikan jika mereka tetap di Xinjiang istrinya akan dipaksa aborsi.
“Mereka akan memenjarakan saya karena memiliki enam anak,” katanya.
Mereka berhasil mendapat visa turis ke Italia. Namun agen perjalanan mereka mengatakan kelima anaknya tak bisa mendapat visa. Hanya yang termuda yang dapat visa.
Setelah menetap di Italia, ia berharap bisa bertemu kembali dengan anak-anaknya.
Namun ketika tindakan kekerasan semakin masif di Xinjiang, Ablikim dan Mahriban mulai khawatir dengan keberadaan anaknya.
Dokumen visa untuk anak mereka sudah disetujui pemerintah Italia pada tahun 2019, namun paspor anak-anak itu akan segera kedaluwarsa. Para orang tua mengatakan pihak berwenang akan mengirim anak-anak tersebut ke panti asuhan milik negara.
Pada tahun 2020, melalui sepupunya yang di italia anak-anak Ablikim bisa melakukan perjalanan jauh.
Tetapi ketika mereka pergi ke konsulat Italia di Shanghai untuk mengambil visa mereka, anak-anak tersebut mengatakan mereka ditahan oleh penjaga keamanan Tiongkok di lobi gedung.
Singkat cerita mereka ditolak karena dokumen izin visa tak dikenali dan anak di bawah umur harus didampingi oleh orang dewasa. Mereka juga mengatakan keempatnya harus mendaftar di Beijing, yang berada di bawah penguncian Covid-19 pada saat itu.
Sepupu yang membantu perjalanan pada akhirnya kehilangan kontak anak-anak tersebut.
Di pusat kota Payzawat, sekitar satu jam perjalanan dari Kashgar. Dengan izin orang tua CNN berusaha menemukan keempat bersaudara, yang katanya tinggal di panti asuhan milik negara tetapi pejabat setempat tidak mengizinkan tim untuk mengunjungi anak-anak tersebut.
Akhirnya, CNN dapat terhubung dengan Yehya, anak tertua kedua, melalui video call WeChat, itupun tetap dengan pengawasan ketat. Ketika ditanya apakah dia ingin bertemu kembali dengan orang tuanya, dia berkata, “Saya bersedia.”
Baru-baru ini, anak-anak mengirim foto mereka berempat berdiri di depan kawat berduri. Gambar lain yang mereka kirim mengatakan dalam bahasa China, “Ayah, Ibu, kami merindukanmu.”
Terlepas dari kesulitan yang mereka hadapi, Mihriban dan Ablikim mengatakan mereka tidak akan berhenti berusaha demi anak-anaknya.
“Saya tidak akan pernah menyerah sampai saya membawa kembali anak-anak saya dengan selamat dan bergabung kembali dengan keluarga saya,” kata Mihriban.
Sementara Ablikim mengajukan permohonan langsung terakhir kepada pemimpin China Xi Jinping, agar mengizinkan anak-anaknya terbang ke Italia dan bersatu kembali dengan orang tua mereka.
“Presiden China,” kata Ablikim. “Aku hanya ingin kamu membawa anak-anakku kembali.”
Dalam sebuah laporan yang dirilis Maret, lebih dari 50 ahli hukum internasional menyebut pemindahan anak-anak China dari keluarga Uighur sebagai pelanggaran Konvensi Genosida PBB.
Di bawah konvensi tersebut, “memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok (etnis) ke kelompok lain” dianggap sebagai tindakan genosida, jika dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok yang dilindungi. Para ahli menemukan hal itu terjadi di Xinjiang.
Berdasarkan dokumen pemerintah China yang tercantum dalam laporan itu, antara 2017 dan 2019, jumlah anak yang dipisahkan dari keluarga mereka di Xinjiang dan ditempatkan di sekolah berasrama meningkat 76,9 persen. Dari yang tadinya di bawah 500 ribu menjadi 880.500 anak.