Sebelum 15 April 2017, Mamutjan kerap mengobrol dengan istri dan anak-anaknya setiap hari. Tetapi pada pertengahan April 2017, dia menghilang dari aplikasi perpesanan China, WeChat.
“Saya menelepon ke rumah keesokan harinya dan ibu saya memberitahu saya bahwa dia pergi untuk waktu yang singkat, untuk kursus belajar singkat. Dan saya menyadari bahwa dia ditahan.”
Pada Mei 2019, ia melihat video anaknya yang diunggah di media sosial dengan penuh semangat berteriak, “Ibuku sudah lulus!”
China menghadapi sanksi internasional atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia atas minoritas Muslim Uighurdi Xinjiang.
China sendiri selalu membantah dugaan pelanggaran HAM itu.
Beijing mengklaim bahwa mereka menampung para Uighur itu di kamp pelatihan yang bertujuan untuk memberikan edukasi lebih baik demi memberantas ekstremisme di Xinjiang.
Pemerintah China menganggap kamp-kamp di sana sebagai pusat pelatihan kejuruan dan para tahanannya disebut pelajar.
Mamutjan kini tinggal di Adelaide, Australia. Minggu ini tim CNN melacak keberadaan anak Mamutjan, Muhlise (10) di rumah kakek-nenek dari pihak ayah di kota Kashgar, selatan Xinjiang.
“Aku merindukannya,” kata Muhlise soal ayahnya, seketika tangisnya pecah. Sejak 2017 lalu, ia tidak berbicara dengan ayahnya.
Dari Adelaide, Mamutjan menonton video itu, sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tak jatuh.
“Saya tidak percaya tinggi putri saya sekarang, negara macam apa yang melakukan ini kepada orang-orang yang tidak bersalah? keluh Mamutjan.
Mengenai istri Mamutjan yang diduga dibebaskan sampai sekarang belum diketahui keberadaanya.
Menurut penuturan Muhlise, ibunya berada di rumah nenek yang lain. Tapi saat dikonfirmasi CNN tak ada siapapun. Pihak berwenang China juga tak menjawab ketika dimintai keterangan.
“Ibuku tidak ada di sini, dan ayahku juga tidak ada di sini. Aku ingin bertemu kembali dengan mereka,” ujar Muhlise, mendengar pernyataan itu neneknya seketika menangis.
Mamutjan yakin bahwa pemerintah China memisahkan orang tua dari anak-anaknya sebagai cara untuk mengintimidasi dan mengendalikan kelompok minoritas Xinjiang.
“Ini pada dasarnya adalah hukuman kolektif untuk etnis dan agama mereka serta nilai-nilai budaya mereka yang unik. Kami tidak pantas menerima semua penderitaan yang luar biasa ini,” ucap dia.
Keluarga yang lain, yakni Mamtinin Ablikim dan istrinya Mihriban Kader mengatakan terpaksa melarikan diri dari Xinjiang setelah hamil anak keenam mereka.
Berdasarkan kebijakan China pada tahun 2017 setiap keluarga di kota Xinjiang hanya diizinkan memiliki dua anak, sementara yang di desa tiga anak.