Kepedihan akibat invasi pasukan asing dituangkan oleh para pembuat karpet di Afghanistan dalam motif-motif karpetnya. Ini terlihat dalam beberapa karpet dan permadani asal kota Herat buatan suku Balouch yang hidup nomaden.
Karpet-karpet yang diproduksi dari kota itu menggambarkan kengerian dan buruknya kondisi rakyat Afghanistan saat invasi pasukan Soviet pada tahun 1979. Salah satu karpet, motifnya menggambarkan aksi-aksi pengeboman di kota Herat yang menewaskan 25. 000 warga dan beberapa karpet lainnya bermotifkan bagaimana ratusan Pasukan Merah Soviet melewati perbatasan Afghanistan.
Karpet-karpet dan permadani yang dibuat dalam 30 model berbeda itu, juga menampilkan motif-motif berupa gambar senjata-senjata mesin, helikopter, tentara yang sedang membawa senjata dan gedung-gedung yang hancur.
Deputi Direktur Australian National University School of Art, Nigel Lendon berkomentar, karpet-karpet itu mewakili "tradisi seni untuk menggambarkan perang terbesar sepanjang abad ke-20. "
"Kami pikir ini adalah ekspresi jujur dari reaksi masyarakat atas pengalaman-pengalamannya di masa perang, " ujar Lendon.
Perang Soviet-Afghanistan berkobar ketika Uni Soviet mengerahkan pasukan ke-40 nya ke Afghanistan pada 25 Desember 1979. Invasi pasukan merah disambut perlawanan hebat para mujahidin Afghanistan dengan dukungan AS, Pakistan dan negara-negara Arab. Soviet akhirnya kalah dan menarik pasukannya dari Afghanistan pada 15 Mei 1988. Perang selama sembilan tahun yang berujung pada kekalahan Soviet ini diyakini sebagai faktor utama runtuhnya Uni Sovyet pada tahun 1991.
Kepedihan akibat perang yang dirasakan rakyat Afghanistan terulang ketika AS mengerahkan pasukannya ke negeri itu dengan dalih mengejar tokoh-tokoh al-Qaidah yang dituding AS sebagai dalang dari peristiwa serangan 11 September 2001.
Para pembuat karpet di Afghanistan pun mendokumentasikan invasi AS yang tak kalah "berdarah" nya ke dalam motif-motif karpet mereka, bahkan ada karpet yang motifnya bergambar peta AS dan gambar gedung kembar yang terbakar. Panglima pasukan AS di kawasan Teluk, Jenderal Tommy Franks pernah memesan 100 karpet yang motifnya bertema "perang melawan terorisme."
Sampai hari ini, karpet-karpet dengan motif "perang" bisa dijumpai hampir di seluruh Afghanistan, yang menjadi salah satu produsen karpet terbesar di dunia. Menurut US Agency for International Development (USAID), industri karpet di negeri ini mempekerjakan sekitar satu juta orang.
Lendon mengatakan, karpet-karpet buatan tangan yang diproduksi secara massal itu, bukan pekerjaan yang gampang. "Kita layak menyebutnya sebagai karpet perdamaian, bukan karpet peperangan, karena karpet-karpet itu menceritakan pengalaman perang yang menyakitkan, " tukas Lendon. (ln/iol)