Kementerian Pendidikan Inggris menerbitkan sebuah dokumen yang isinya meminta para dosen dan staff universitas di seluruh Inggris memata-matai para mahasiswa Muslim, kalau-kalau para mahasiswa itu melakukan kegiatan ‘ekstrimis’.
Surat kabar Inggris Guardian edisi Senin (16/10) menyebutkan, dokumen setebal 18 halaman itu sudah dikonsultasikan dengan lembaga-lembaga pemerintahan Inggris sepanjang akhir bulan kemarin. Dokumen itu mendorong pihak universitas untuk secara pro aktif melaporkan para mahasiwa yang dicurigai ke kantor polisi terdekat.
Dokumen mengklaim komunitas Islam di universitas-universitas makin banyak yang terlibat dalam kegiatan politik. Untuk itu, dokumen tersebut juga meminta pihak universitas untuk memonitor selebaran-selebaran dan para pembicara dalam komunitas Muslim.
"Komunitas Islam cenderung mengundang pembicara atau da’i yang lebih radikal ke kampus-kampus. Mereka bisa sangat kuat, persuasif dan pandai bicara," demikian bagian isi dokumen itu.
Lebih lanjut dokumen itu menyebutkan, "Mereka mampu mengisi kevakuman di hati generasi muda Muslim yang merasa terasing dari generasi orang tua mereka, dengan memberikan ‘pencerahan’ yang lebih luas dari sisi pandang Islam terhadap berbagai isu, serta melihat bagaimana potensi para mahasiswa Muslim itu merespon hal-hal tersebut."
Para mahasiswa Muslim yang oleh dokumen itu disebut memiliki latar belakang yang lebih suka ‘mengasingkan diri’ cenderung mendukung cara pandang ‘kaum ekstrimis’ dibandingkan para mahasiswa Muslim yang mau ‘berbaur dengan masyarakat yang lebih luas.’
Saat ini ada sekitar 1,8 juta warga Muslim di Inggris dan hampir 90 ribu orang di antaranya adalah para pelajar yang sedang mengenyam pendidikan tinggi.
Dokumen yang berisi program mata-mata terhadap mahasiswa Muslim di universitas-universitas ini terungkap beberapa jam sebelum pertemuan antara pejabat pemerintahan lokal dan komunitas Inggris, Ruth Kelly dengan sejumlah pemuka agama Islam.
Surat kabar Daily Mirror melaporkan, dalam pertemuan itu Kelly meminta para pemuka Islam dan aparat kepolisian memberikan informasi tentang universitas-universitas, sekolah dan masjid-masjid yang menjadi tempat ‘cuci otak’ kalangan muda Muslim.
Kelly mengatakan, dunia sudah berubah sejak peristiwa serangan 11 September di AS dan ledakan bom di London pada 7 Juli lalu. Oleh sebab itu, pemerintah juga harus berubah dan memberikan respon atas peristiwa-peristiwa serangan tersebut.
"Dan kami meminta otoritas-otoritas lokal untuk melakukan hal yang sama. Kita perlu lebih dekat dalam bekerjasama dengan aparat kepolisian dan komunitas lokal untuk menghadapi ancaman ini," ujar Kelly.
Seorang sumber yang dekat dengan Kelly mengungkapkan, pertemuan dengan para pemuka Islam bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas sejumlah pertanyaan, misalnya, apakah mereka memahami kelompok-kelompok mana di komunitas mereka yang mudah terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran ekstrim dan apakah para pemuka Islam itu bisa memetakan wilayah-wilayah yang rawan itu.
Sumber tersebut mengatakan, pemerintah meyakini, begitu wilayah-wilayah ‘panas’ itu terindentifikasi, masjid-masjid harus bisa membantu menjembatani warga Muslim dan non Muslim.
Terungkapnya dokumen ‘mata-mata’ ini tentu saja mengundang reaksi dari para pemuka Islam dan organisasi-organisasi mahasiswa Muslim.
"Buat saya, kedengarannya dokumen ini berpotensi untuk menimbulkan pelanggaran yang lebih luas lagi terhadap hak-hak mahasiswa Muslim dari yang pernah ada di negeri ini," kata Wakkas Khan, presiden Federasi Komunitas Mahasiwa Muslim.
"Jelas, dokumen ini targetnya adalah mahasiswa Muslim dengan menempatkan mereka pada tingkat kecurigaan dan pemantauan yang lebih tinggi. Sepertinya anda akan dianggap bersalah kecuali anda sudah dibuktikan tidak bersalah," sambungnya. (ln/iol)