Mufti Mesir Syaikh Ali Gomaa menegaskan bahwa dirinya bukan alat pemerintah yang harus menuruti kemauan mereka. Gomaa menegaskan hal tersebut, menyusul hujan kritik yang diarahkan padanya terkait fatwa-fatwa yang dikeluarkannya, yang dianggap kontroversial.
"Belum pernah terjadi sebelumnya, ketika kami mengeluarkan fatwa, kami mendapat tekanan dari partai politik atau dari pemerintah, " kata Syaikh Gomaa.
Dar el-Ifta, lembaga yang diketuai oleh Gomaa, memberikan tuntutan berdasarkan al-Quran dan hadist berbagai persoalan, mulai dari masalah perbankan sampai masalah seks. Namun ada beberapa fatwa yang menimbulkan perdebatan sengit di masyarakat Mesir. Misalnya fatwa yang dikeluarkan sepekan kemarin, yang mengatakan bahwa seorang pengemudi tidak bisa disalahkan jika menabrak orang yang berdiri di depan mobilnya. Fatwa itu dikeluarkan hanya beberapa hari setelah seorang perempuan tertabrak oleh mobil polisi.
Namun Syaikh Gomaa menyatakan bahwa masyarakat sudah bersikap tidak "fair" karena mengaitkan fatwa yang dikeluarkannya dengan peristiwa kecelakaan itu. Pasalnya fatwa tersebut dikeluarkan bulan Juli, sedangkan kecelakaan tersebut terjadi pada bulan November.
"Dar el-Ifta yang merupakan bagian dari kementerian kehakiman, dituduh sebagai alat pemerintah. Ini tidak benar. Kami menolak politisasi fatwa, " tandas Syaikh Gomaa.
Ia juga mempertahankan fatwa yang dikeluarkannya pekan lalu, yang mengatakan bahwa 26 imigran Mesir ilegal yang tewas tenggelam di perairan Italia bukanlah martir yang mati syahid. "Karena mereka membahayakan diri mereka seniri dan tujuan perjalanannya bukan untuk melayani Allah, " Syaik Gomaa memberi alasan.
Padahal dalam fatwa sebelumnya, otoritas keagamaan Mesir termasuk Gomaa mengatakan bahwa mereka yang tewas dalam kecelakaan adalah martir, oleh sebab itu akan masuk surga. Tentu saja fatwa Gomaa memicu kemarahan banyak pihak, termasuk Al-Azhar. (ln/mol)