Kolumnis Saudi Muhammad Ali Al-Mahmud mengeluarkan pernyataan kontrovesial. Ia mengatakan, pencekalan wanita untuk menduduki jabatan-jabatan strategis politik di Arab Saudi merupakan bukti nyata telah merasuknya ideologi "teroris" pada kelompok keras di Saudi.
Menurutnya, akarnya dari semua itu karena mereka tak ingin teks-teks Al-Qur’an dan Hadits dikorpromikan dengan masalah duniawi.
Pernyataan kontroversial itu mencuat dalam sebuah talk show "Idhaat" di sebuah stasiun televisi Saudi, yang akan disiarkan pada Jum’at (23/3) sian waktu setempat, dan akan kembali disiarkan pada Selasa depan. Acara talk show ini dipandu oleh presenter kondang Saudi Turki Ad-Dakhil.
Seruan-seruan Al-Mahmud selama ini kerap mengajak untuk merasionalisasi perintah-perintah (khitaab) Islam. Banyak kalangan berpendapat pandangan Al-Mahmud sudah bergeser dari masa "kesadaran" menuju masa "moderat’. Tapi Al-Mahmud sendiri mengaku bahwa dirinya sama sekali tidak merasakan pergeseran besar itu. Al-Mahmudi juga mengaku bahwa dirinya bukan seorang Salafi dan bukan dari kalangan shahwah (pergerakan).
“Saya tidak anti teks wala dan bara sebagai sebuah pemahaman yang umum. Tapi saya mengkritisi masalah Al-Bara, kebencian dan amarah. Adalah sangat wajar Anda membenci musuh Anda. Tapi itu bukan berarti sebagai syarat agar Anda membunuhnya, ” jelas Al-Mahmud.
Selanjutnya penulis Saudi yang sebelumnya dikenal moderat itu menambahkan, fenomena lain merasuknya ideologi terorisme pada aliran keras adalah sikap mereka terhadap wanita, di mana mereka cenderung membungkam wanita dengan cara mencekalnya agar tidak duduk di Majelis Syuro atau di kementerian. Jabatan-jabatan itu dianggap sebagai Zona Jabatan Publik (wilayah Aamah), dengan merujuk kepada teks hadits yang menyebutkan bahwa sebuah komunitas tak akan pernah beruntung jika urusan mereka diserahkan kepada wanita, sementara secara empiris ada bukti bagaimana Ratu Saba telah berhasil menjadi pemimpin, seperti juga Margaret Teacher.
Karena itu, sambung Al-Mahmud, dirinya mengajak agar teks-teks Al-Qur’an dan Hadits dikompromikan dengan dunia nyata. Ia juga menolak ajakan-ajakan militerisasi untuk keperluan menumpahkan darah, karena menurutnya pemahaman jihad itu pada dasarnya merupakan tanggung jawab tentara.
Dalam konteks perang, penulis freelance Saudi itu menilai apa yang dilakukan AS dan sekutunya itu merupakan penjajahan. Kendati demikian, kata dia, penjajahan itu ada sisi positifnya yaitu terbebasnya rakyat Irak dari rezim Saddam Husen.
Terkait siapa mereka yang dikatakan kelompok keras itu, Al-Mahmudi menjelaskan, “Kaum fundamentalis saat ini sedang merosot. Mereka itu gerakan Salafi yang bodoh, yang ingin menampatkan segala cara pandang Salafi di dunia nyata. ”
Diakui Al-Mahmudi bahwa saat ini Islam lemah. Namun kelemahan itu bukan pada Islamnya tapi pada penganutnya. “Para pemeluknya yang menyebabkan krisis yang menggiring ke kemunduran itu, ” kata Al-Mahmud. (ilyas/alarby)