Somalia tidak memiliki pemerintahan yang efektif. Pemerintahan Somalia yang dipimpin Presiden Sheikh Ahmed terlalu, khususnya menghadapi berbagai pemberontakan dan kekacauan di negeri itu. Termasuk permaian dari lembaga-lembaga internasional di Somalia, dan inilah kekeringan yang mengakibatkan 3 juta warga Somalia di selatan mengalami kelaparan.
Kelaparan di Somalia akibat kurangnya operasi bantuan yang layak. Ada tiga faktor yang bersifat darurat untuk menyelamatkan Somalia dari ancaman bahaya kelaparan.
Pertama, PBB sebagai lembaga multilateral sangat terlambat mengambil tindakan yang bersifat darurat, bahkan cenderung membiarkan situasi kelaparan yang ada di Somalia. Sistem Jaringan Peringatan Kelaparan Dini, sudah memperingatkan krisis kelaparan di Somalia, September lalu. Tetapi, PBB membiarkan siatuais di Somalia itu, terus berlangsung selama selama bertahun-tahun. Tapi, baru 20 Juli yang lalu, PBB mulai menyebut adanya kelaparan.
Situasi ini, akibat dampak dari krisis utang di Eropa dan AS, dan PBB tidak dapat mendapatkan dana yang dibutuhkan sebesar $ 2,48 Miliar dollar, yang dibutuhkan untuk membantu kelaparan yang ada di Somalia dan kawasan Sahara. Dana yang dibutuhkan baru 55% dari total yang dibutuhkan membantu kelaparanitu. "Berbahaya tidak memadai" kata Sekretaris Pembangunan Internasional Inggris Andrew Mitchell, ketika mengunjungi Mogadishu selama beberapa jam.
Kedua, badan-badan bantuan Barat tidak lagi menaruh perhatian terhadap bencana kelaparan. Mereka hanya berpura-pura ingin membantu kelaparan di Somalia, tetapi tidak ada tindakan yang konkrit mengatasi kelaparan di wilayah yang kering. Oxfam adalah salah satu lembaga mengumpulkan uang untuk Somalia, dan mengaku mencapai ratusan ribu rakyat Somalia saat ini, seperti yang dituturkan juru bicara lembaga itu kepada Time, tetapi faktanya tidak benar-benar mendistribusikan makanan, dan lembaga itu tidak ada stafnya yang berada di daerah kelaparan.
Lembaga Oxfam kurang jujur , meskipun mengakui operasi darurat yang dijalankan tidak berjalan dengan baik. PBB mengatakan hanya 20% dari 2,8 juta warga Somalia selatan yang dapat tercapai oleh bantuan. World Food Program (WFP), organisasi besar yang terkait dengan bantuan kelaparan secara global, bahkan kurang dari itu proporsi yang sebenarnya, yaitu 500.000 pengungsi di Mogadishu, terutama karena kekhawatiran keamanan.
Hampir semua pekerja bantuan Barat tetap berada dibalik kantong-kantong pasir, menghindari serangan, dan mereka hanya berada dekat bandara Mogadishu, di mana tidak bisa bergerak, dan selalu dilindungi oleh para penjaga bersenjata. Jarang sekali mereka berani keluar. WFP tidak mengirimkan 85.000 makanan setiap hari untuk distribusi melalui badan amal lokal.
Tapi menghentikan kelaparan massal membutuhkan pengiriman makanan massal dan tidak ada yang berani mencoba bahwa sejak upaya WFP mendistribusikan bahan makanan secara massal, awal Agustus berakhir dengan kerusuhan dan menyebabkan tewasnya tujuh orang. Tiga minggu kemudian PBB, baru menyatakan kelaparan. Padahal, para pengungsi yang mengalami kelaparan yang dahsyat itu, hanya berjarak 200 meter dari bandara, dan mereka belum diberi makan.
Ketiga, Somalia selatan dikendalikan oleh kelompok Al Shabab. Al Shabab sebagai kelompok gerakan yang paling berpengaruh, nampaknya AS dan PBB bantuan pangan yang dikirimkan itu akan jatuh kepada Al-Shabab. AS memiliki kewajiban memastikan b bantuan yagn datang tidak akan menguntungkan al-Shabab. Maka, kemudian AS menekan lembaga bantuan PBB untuk tidak mengirimkan bantuan mereka ke Somalia selatan sejak akhir 2009. Sekarang di Somalia mengalami bencana "disaster" kelaparan yagn hebat.
Sementara itu, negara-engara Arab dan Islam sibuk dengan masalah politik di dalam negeri mereka, dan tidak lagi sempat memikirkan nasib rakyat Somalia, yang menghadapi ancaman kepunahan akibat kelaparan. (mh/tm)