Kekhalifahan sebagai Solusi Selamatkan Umat Islam dari Keterpurukan, Bisakah Diwujudkan?

Membangun kembali Kekhalifahan Islam, sebuah ide yang sederhana tapi cukup menantang. Adalah Hizbut Tahrir, organisasi Islam yang gencar memkampanyekan berdirinya kembali Khalifah Islam. Menurut organisasi ini, umat Islam harus menghapus batas-batas negara dalam dunia Islam dan kembali ke satu negara Islam yang dikenal sebagai ‘Kekhalifahan’, membentang mulai dari Indonesia sampai Maroko dan menyatukan sekitar 1,5 milyar umat Islam sedunia.

Sejumlah analis meyakini, dengan ide dan wacana yang digulirkannya itu, bukan tidak mungkin Hizbut Tahrir akan menandingi gerakan-gerakan Islam yang sudah ada, menumbangkan para pemimpin negara-negara di Timur Tengah, menentang mereka yang ingin merekonsiliasi demokrasi dan Islam serta membangun jembatan antara Timur dan Barat.

"Bush (Presiden AS) bilang bahwa kami ingin memperbudak manusia dan menindas kebebasan berbicara. Tetapi kami ingin membebaskan semua umat manusia dari perbudakan manusia lainnya dan membuat mereka hanya menjadi budak Allah," kata Abdulllah Shakr, anggota senior Hizbut Tahrir seperti dikutip Christian Science Monitor edisi Rabu (10/5).

"Beberapa tahun yang lalu, orang-orang menertawakan wacana itu. Tapi sekarang, Usamah bin Ladin, Abu Musab al-Zarqawi dan gerakan-gerakan Islam lainnya mengatakan ingin membangun sebuah kekhalifahan, dan orang mulai serius memperhatikan wacana ini," sambung Zeyno Baran, anggota senior Hudson Institute dan staff ahli di Hizbut Tahrir.

"Kekhalifahan adalah tempat berkumpul Islamis yang radikal dan Islamis yang lebih moderat. Ide pemerintahan berdasarkan pada kekhalifahan memiliki asal-usul sejarah dan legitimimasi dalam Islam yang tidak dimiliki oleh sistem pemerintahan Barat sejak awal keberadaannya," tambah Stephen Ulph, dari Jamestown Foundation.

"Kami menyebarkan ide-ide kami secara langsung pada setiap orang. Kami tidak peduli apakah pemerintah tahu tentang kami, tapi… kami berusaha untuk tidak menarik perhatian mereka," kata Abdullah lagi dengan bahasa Inggris yang lancar. Abdullah sendiri pernah mendekam di penjara Yordania karena menjadi anggota Hizbut Tahrir.

Hizbut Tahrir didirikan di Yerusalem pada 1953 oleh seorang hakim asal Palestina, Syeikh Taqiuddin An-Nabhani. Menurutnya, dunia Islam makin miskin dan lemah sejak kekhalifahan dihapuskan oleh pemimpin Turki Kemal Attaturk pada 1924.

Sistem kekhalifahan dibangun setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Sejak kekhalifahan berdiri, Islam berkembang ke berbagai wilayah melalui penaklukan dan kesepakatan, terutama ke wilayah Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara. Kekhalifahan Utsmani di Turki yang cenderung berkiblat ke Barat akhirnya meruntuhkan sistem Kekhalifahan. Padahal pada era 1920-an, umat Islam di seluruh wilayah yang menjadi jajahan Inggris, utamanya di India, memanfaatkan restorasi kekhalifahan sebagai perjuangan menentang kolonial.

"Orang menengok kembali ke sistem kekhalifahan dan melihat sukses sistem itu sebagai cerminan bagi makin memburuknya kondisi umat Islam di dunia sekarang ini," kata Ulph.

Hizbut Tahrir meyakini kekhalifahan bisa dibangun dengan cara-cara yang damai, bisa memberangus korupsi dan menciptakan kemakmuran. Para aktivisnya melakukan pendekatan pada pemimpin militer dan pemimpin politik Muslim dengan mengatakan bahwa membangung kembali kekhalifahan adalah kewajiban mereka sebagai umat Islam.

"Dunia Islam memiliki sumber daya alam seperti minyak, tapi kurang memiliki kepemimpinan yang akan memimpin kita berdasarkan hukum Islam dan menjadikannya jihad yang selama ini ditakuti dunia," kata Abdullah.

Kepemimpinan Hizbut Tahrir saat ini dipegang oleh Amir Atta Rashta, asal Yordania. Ia tinggal di sebuah tempat rahasia di Timur Tengah dan komunikasi dilakukan melalui internet. Di seluruh negara Arab Hizbut Tahrir dinyatakan sebagai organisasi terlarang, termasuk di Jerman. Inggris melarang keberadaan organisasi ini setelah peristiwa bom London.

Nadim Syahadi, seorang analis Timur Tengah di Chatham House menyatakan, "Banyak orang menilai apa yang ingin dicapai Hizbut Tahrir tidak realistis. Meski pemahaman mereka tentang Kekhalifahan sebagai sebuah sistem yang kuat tidak perlu dipertanyakan lagi. Secara historis, Kekhalifahan hanya bisa berjalan karena sistemnya yang sangat longgar dan terdesentralisasi.

Meski demikian, banyak analis yang mengkhawatirkan organisasi ini mendorong para pengikutnya untuk menjadi radikal yang akhirnya terperangkap dan militansi, melalui ide Kekhalifahan yang digulirkannya. Menurut mereka, organisasi ini memang belum menjadi gerakan massa, tapi para analis mengingatkan bahwa kelompok ini mendapat perhatian besar dari kalangan profesional dan berpendidikan di Eropa dan Timur Tengah. (ln/CSM)