Kebebasan Berjilbab di Negeri Anti Jilbab

Bagi Muslimah berjilbab yang intensif mengikuti perkembangan politik dunia Islam, hari-hari ini adalah momentum kebahagiaan mereka. Sebagaimana perasaan gembira yang menyusup hebat di kalangan Muslimah berjilbab di Turki.

Seperti diketahui, Turki secara demokratis telah menentukan pilihannya atas Presiden Turki yang baru, Abdullah Gul. Tokoh yang selama ini diangkat kelompok sekuler sebagai momok menakutkan, lantaran memiliki latar belakang Islamis dan yang paling mencolok adalah, isteri Abdullah Gul yang mengenakan jilbab.

Maklum, jilbab di negeri sekuler Mushtafa Kamal Ataturk itu, serupa dengan barang haram. Jilbab dilarang digunakan para pelajar dan mahasiswi, juga pegawai negeri. Tapi akhirnya, Muslimah dunia bisa menyaksikan jilbab dikenakan di istana Presiden Turki di bawah kepemimpinan Abdullah Gul.

Bukan dibuat-buat bila memang dinamika dan kesulitan Gul mencapai kursi presiden dalam sejumlah putaran pemilihan di parlemen yang kalah tipis, ada hubungannya dengan masalah jilbab. Pada putaran pertama, Gul gagal mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen antara lain karena jilbab yang dikenakan isterinya.

Kelompok militer dan sekuler selama ini telah menetapkan larangan jilbab bagi mahasiswi dan pegawai negeri. Dan karenanya, mereka sama sekali tak rela melihat jilbab dikenakan dalam acara formal kenegaraan apalagi bebas dikenakan di istana Presiden nantinya.

Sekulerisme yang mengaku sebagai paham yang sangat menghargai kebebasan dan kemerdekaan pribadi, justru menekan para Muslimah yang mengenakan jilbab baik dari aspek kemanusiaan, pendidikan, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Namun, ketika Abdullah Gul terpilih sebagai presiden Turki, suasana seperti itu pun diyakini akan berubah.

Perjuangan Muslimah Turki hingga tahap sekarang, memang bukan hal yang sederhana. Mereka telah melakukan strategi nafas panjang untuk bisa mewujudkan kondisi seperti sekarang. Bayangkan saja, sejak keruntuhan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah di tahun 1924, sejak itulah sekulerisme Turki memimpin negeri mereka. Dan sejak itu pulalah, semua simbol dan nilai-nilai Islam dimarginalkan, hingga dalam tahap menghina dan melecehkan jilbab sebagai salah satu simbol Islam yang dianggap simbol keterbelakangan dan kuno.

Tapi melalui perjuangan panjang, menanamkan keyakinan di masyarakat Turki sekuler, kini jilbab menjadi merebak luas di Turki. Aktifis Muslimah berjilbab berpuluh tahun memberikan pelayanan dan bantuan mereka untuk perbaikan ekonomi negaranya, membantu agar rakyat mereka maju dan sejahtera secara ekonomi untuk kemudian diajak lebih banyak memahami Islam. Kemajuan dan kesejahteraan ekonomi Turki, tak bisa dilepaskan dari penerimaan warga sekuler Turki terhadap para aktifis perempuan berjilbab yang kini banyak berperan di antara mereka.

Aktifis Muslimah berjilbab di Turki, juga meyakinkan masyarakat melalui perjuangan mereka yang panjang memberikan hak pengajaran dan pendidikan keIslaman, bahwa menutup kepala adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat baik guna membina kepribadian yang baik pula. Gempuran fitnah negatif yang secara massif disebarkan pemerintah sekuler Turki, seakan tak berdaya menghadapi penyebaran informasi dan pendidikan keIslaman yang dilakukan para aktifis Islam Turki.

Penerimaan masyarakat sekuler Turki terhadap nilai-nilai Islam, patut menjadi pelajaran bagi siapapun Muslim di negara manapun. Bahwa proses penerimaan publik terhadap kehadiran Islam, haruslah terjawantah dan terasakan oleh masyarakat sendiri. Sampai mereka tidak lagi terpengaruh dengan ‘black campaign’, kampanye kotor yang kerap diarahkan kepada para aktifis Islam di berbagai tempat. Pasalnya, masyarakat telah merasakan sendiri sentuhan kaum Islamis itu.

Dan kini, bagi kelompok pro sekuler Turki, mereka harus bisa menerima kenyataan sang isteri Presiden yang berjilbab dalam acara-acara protokoler. Bahkan juga, pasti di dalam istana Presiden. (na-str/akhb)