Kebangkitan Dunia Arab dan Hukum Lèse-Majesté

Terlepas dari kegagalan dan paham oportunismenya, Kebangkitan Dunia Arab (Arab Spring) telah memperketat persoalan terhadap penguasa. Dalam upaya melindungi kerajaan-kerajaannya, penguasa-penguasa negara Teluk siap menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang berani melakukan kejahatan dari segala kejahatan: “menghina kebesaran emir, sultan atau raja.”

Sekarang ini, ketika berbicara mengenai “melawan kebesaran Emir”, perhatian tertuju kepada Kuwait, di mana sejumlah orang telah dihukum atas tindakan perlawanan, termasuk beberapa mantan anggota parlemen.

Meski kerajaan kaya minyak tersebut bisa menjadi salah satu yang paling demokratis di antara negara-negara Teluk, setiap orang yang mengkritisi – baik melalui tulisan, Tweeter, atau pidato – bisa menerima hukuman denda atau 10 tahun penjara. Ini diatur dalam pasal 54 dalam undang-undang: “ Amir adalah Kepala Negara. Ia Kebal dan Tidak dapat diganggu gugat.”

Pada 5 Februari 2013, tiga mantan anggota parlemen oposisi Kuwait – Khaled al-Tahus, Falah al-Sawwagh, and Bader al-Dahum – dihukum tiga tahun penjara. Rekan mereka, Musallam al-Barrak masih dalam proses pengadilan, atas dakwaan “menghina kebesaran Amir, melawan pendukung kerajaan, dan menentang kekuatan pangeran.”

Seluruh terdakwa telah membuat pernyataan publik dalam demonstrasi oposisi yang secara keras mengkritik emir.

Beberapa aktivis juga tengah diadili atas tindakan menantang emir pada situs media sosial. Pada awal Februari, Mohammed Eid al-Ajami dihukum lima tahun penjara karena menghina emir di Twitter.

Sekitar satu bulan lalu, Rashed al-Hajeri didenda 5.000 Dinar Kuwait, sekitar 18.000 dollar AS karena “menghina pendukung kerajaan” di Twitter. Sebelumnya, Lawrence al-Rashid juga dihukum sepuluh tahun penjara karena mempublikasikan puisi di internet yang mengkritisi emir dan rezim Kuwait.

Hukuman paling berat terkait menentang emir terjadi di Qatar, di mana seorang penyair – Mohammed al-Ajami, aka Ibn al-Dhib, menerima hukuman seumur hidup karena “penghasutan untuk menggulingkan rezim dan menghina pangeran” dalam puisinya “Jasmine Poem.”

“Kami seluruh Tunisia menentang elit yang represif,” tulisnya

Berbicara kepada AlAkhbar, Anwar al-Rasheed, sekjen Forum Teluk untuk Organisasi Sosial Sipil, percaya bahwa dakwaan penghinaan adalah suatu reaksi natural terhadap seruan kaum muda masyarakat Teluk yang menuntut perubahan dan reformasi.”Penguasa menggunakan dakwaan serupa setiap kali muncul seruan untuk kebebasan,” ungkapnya. (DS/al-Akhbar)