Kaum oposisi Tunis yang terdiri dari para politisi dan kaum intelektual, melanjutkan aksi menekan pemerintah yang telah menetapkan larangan terhadap jilbab. Uniknya, aksi ini justru dipelopori oleh kalangan Islamis dan sekuler.
Mereka menelurkan sebuah dokumen bersama, antara lain menetapkan bahwa menggunakan jilbab adalah hak individu yang tidak boleh dilarang bagi wanita yang ingin mengenakannya.
Ketetapan bersama itu dianggap para pengamat, sebagai langkah balik dari kalangan sekuler dan kiri yang sebelumnya telah menyatakan secara prinsip, menolak jilbab. Dalam ketetapan itu, mereka juga mengkritisi soal banyaknya hak-hak perempuan berjilbab yang terlanggar, baik di bidang pengajaran, bekerja, dan juga terkait hak persamaan mereka dengan pria. Dalam soal ini, pengamat menganggap telah terjadi perubahan pemikiran di kalangan Islamis. Karena sebelum ini kalangan Islamis tegas menyatakan perbedaan antara hak perempuan dan laki-laki dalam hal-hal tertentu.
Dokumen bersama yang dideklarasikan oleh kelompok yang menamakan diri mereka kelompok “Perhimpunan 18 Oktober untuk HAM” dan dokumen mereka bertajuk, Tentang Hak -hak Perempuan dan Persamaan Hak antara Perempuan dan Laki-laki. Nama 18 Oktober diambil karena awal pertemuan arus ini terjadi pada 18 Oktober 2005. Anggotanya terdiri dari kalangan lintas pemikiran dan politik, baik Islamis maupun sekuler. Utamanya adalah Harakah Nahdhah yang mewakili arus Islamis di Tunis, Partai Demokrat Modern beraliran sekuler, juga Partai Buruh Komunis Tunisia.
Mushtafa ben Jafar, kepala partai Demokrat Modern mengatakan, “Ini adalah dokumen yang memiliki nilai sejarah penting. Karena dokumen ini telah berhasil dibuat setelah melakukan kesuksesan dalam dialog dan kajian terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan selama ini antara arus Islam dan sekuler, terhadap masalah hak perempuan. ”
Jafar menegaskan pada para wartawan, bahwa, “Dokumen ini telah menghilangkan perselisihan terhadap masalah perempuan yang telah dihidupkan oleh pemerintah selama 20 tahun hingga semakin memperdalam perselisihan dan perbedaan antara arus politik oposisi, yang dipelopori oleh arus Islam dan arus sekuler. ”
Sementara Zeyad Daulatay, salah satu pimpinan Harakah Nahdhah Islamiyah, mengakui urgensi dokumen ini sebagai, “kesepakatan pertama dalam sejarah di wilayah Arab dan bahkan dunia Islam. Di mana dalam dokumen itu, kalangan sekuler dan Islamis sama-sama sepakat terhadap hal yang satu, yang paling sering menjadi akar perselisihan antara mereka, yakni dalam masalah hak perempuan. ” Kepada Islamonline, ia mengatakan, “Kesepakatan ini membuka pintu untuk rakyat dari berbagai aliran untuk bergabung bersama guna membahas masalah lain yang selama ini diperselisihkan, seperti masalah demokrasi, masalah agama dan negara, dan juga masalah lainnya. ”
Kelompok Islamis dan sekuler Tunisia ini membeberkan sejumlah kasus yang merugikan perempuan Tunisia, antara lain, perbedaan mencolok antara hak untuk perempuan dan laki-laki di Tunis menyebabkan tingkat buta baca tulis di kalangan perempuan sangat banyak. Selain itu juga soal kesempatan bekerja wanita, di mana upah untuk perempuan berbeda 14% daripada upah untuk kaum laki-laki. Bahkan perbandingan itu bisa mencapai 18%. Kelompok tersebut menuntut pemerintah menghapus undang-undang yang melarang perempuan berjilbab sehingga tidak mendapatkan haknya. (na-str/iol)