Kampanye Politik dan Kekhawatiran Muslim Bulgaria

Muslim Bulgaria menjadi target "serangan" para politisi dari kalangan ultranasionalis dan partai-partai kiri di negeri itu. Para politisi di negeri yang terletak di sebelah tenggara benua Eropa itu berlomba-lomba melontarkan retorika anti-Muslim untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam pemilu nasional yang bakal digelar tanggal 5 Juli mendatang.

"Kami semua sangat khawatir," kata Mustafa Yumer, seorang filsuf Muslim yang pernah melakukan aksi mogok makan untuk melawan kebijakan pemerintahan komunis di Bulgaria yang memaksa warga minoritas Muslim negeri itu menggunakan nama etnis Bulgaria. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1989, rezim komunis yang ketika itu masih berkuasa, melarang Muslim menjalankan ibadah agamany dan memaksa mereka menggunakan nama-nama khas etnis Slavia.

"Komunitas Muslim ‘ngeri’ dengan pernyataan-pernyataan partai-partai kiri jauh yang mengatakan ingin melihat Bulgaria menjadi bangsa dengan satu etnis saja," ujar Yumer.

Dalam kampanyenya, partai-partai politik menuduh komunitas Muslim berencana membentuk wilayah otonomi sendiri di Bulgaria. Para politisi itu juga mengatakan bahwa beberapa desa di negeri mereka telah menjadi sarang orang-orang Islam radikal. "Jika kita cuma duduk dan tidak bertindak sebagai patriot bagi Bulgaria, suatu hari mereka (Muslim) pasti akan menaklukkan kita. Mereka akan menganeksasi seluruh wilayah negara kita," kata Voleh Siderov, tokoh nasionalis Bulgaria dalam kampanyenya belum lama ini.

Bukan cuma Yumer yang prihatin melihat sikap para politisi di Bulgaria. Boriana Dimitrova dari Alpha Research, sebuah perusahaan polling independen juga mengungkapkan kekhawatirannya. "Sepertinya isu-isu etnis sengaja dieksploitasi oleh kedua kelompok politik itu," kata Dimitrova.

Keberadaan komunitas Muslim di Bulgaria tidak seperti keberadaan komunitas Muslim di negara-negara Eropa lainnya. Imigran Muslim di Bulgaria yang kebanyakan keturunan Turki, sudah masuk ke negeri Eropa itu sejak masa Kekhilafahan Turki Ustmani. Dari 7,6 juta penduduk Bulgaria, 12 persennya adalah Muslim. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat Kristen Ortodoks di Bulgaria sejak berabad-abad yang lalu. Keharmonisan kehidupan warga Muslim dan Kristen di Bulgaria terjalin karena mereka mengembangkan budaya yang disebut "komshuluk" atau "sikap ramah-tamah dengan para tetangga"

Tapi sejak dua tahun belakangan ini, kehidupan warga Muslim di Bulgaria tidak nyaman lagi. Dalam kurun waktu itu, tercatat lebih dari 100 kasus vandalisme terhadap gedung-gedung milik Muslim dan masjid-masjid di negeri itu.Retorika anti-Muslim para politisi menjelang pemilu ini, dikhawatirkan akan memperburuk sikap anti-Islam seperti di jaman komunis dulu.

"Luka masa lalu seharusnya sudah sembuh sekarang, jika orang-orang tidak mengungkit-ungkitnya lagi," kata Fikri Gulistan, seorang dokter gigi Muslim di kota Momchilgrad.

Saat ini, sejumlah sekolah dan universitas di Bulgaria memberlakukan larangan jilbab bagi para muslimah. Bulan Maret kemarin, aparat intelejen Bulgaria memeriksa seorang walikota dan seorang guru agama Islam di desa Ribnovo atas pengaduan para politisi sayap kanan. Walikota dan guru agama itu dituduh menerima sumbangan dari Arab Saudi untuk menyebarkan ajaran Islam radikal. Tidak ada proses hukum dalam kasus ini, tapi perbincangan di internet dan surat-surat kabar memicu munculnya pesan anti-Muslim bahwa "Bulgaria hanya untuk orang Bulgaria."

Hussein Hafazov, salah seorang penasehat Mufti Muslim Bulgaria mengatakan, mereka berupaya keras agar diskriminasi dan penindasan terhadap warga Muslim yang terjadi pada era pemerintahan komunis tidak terulang lagi. "Kami kerap dituding sebagai teroris dan membahayakan negeri ini, kami tidak tahu apakah masyarakat juga berpikir seperti itu," kata Hafazov.

Sejumlah analis lain di Bulgaria berkeyakinan bahwa apa yang dikhawatirkan oleh warga Muslim tidak akan terjadi. Menurut Kepala International Center for Minority Studies, Antonina Zhelyazkova, kebanyakan Muslim Bulgaria keturunan Turki menganut sekularisme dan mereka tidak akan menerima orang yang menyebarkan ajaran Islam yang radikal. "Hal itu diperkuat dengan tradisi hidup bertetangga di Bulgaria yang sudah berlangsung lama," kata Zhelyazkova. (ln/iol)