Kalangan Islamis di Mauritania mengecam kudeta yang dilakukan militer negeri itu terhadap Presiden Sidi Ould Cheikh Abdalallahi, presiden Mauritania pertama yang terpilih secara demokratis. Uni Eropa dan Afrika Utara juga mengecam kudeta tak berdarah itu.
Anggota parlemen dari kalangan Muslim Muhammad Jemil mengatakan, mereka menolak kudeta terhadap lembaga-lembaga yang konstitusional, terutama terhadap Presiden Abdallahi. "Kami mendukung legitimasi dan perubahan kekuatan yang damai dan tidak akan pernah mendukung kudeta apapun masalahnya, " tukas Jemil.
Siaran radio nasional Mauritania menyebutkan kudeta itu dipimpin oleh Jenderal Abdul Aziz yang sekarang mengepalai Dewan Militer Negara. Jenderal itu bersama pasukan pengawal presiden yang loyal padanya, melakukan kudeta dengan mengambil alih istana kepresidenan di Nouakchott, ibukota Mauritania dan menangkap Presiden Abdallahi dan Perdana Menteri Yahya Ould Ahmed Waghf, hari Rabu (6/8).
Kudeta terjadi setelah Presiden Abdallahi mencopot sejumlah pejabat tinggi militer Mauritania karena dicurigai berada di balik berbagai krisis politik yang mengganggu stabilitas negeri itu. Abdallahi terpilih sebagai presiden Mauritania dalam pemilu yang demokratis tahun 2007, setelah masa transisi dari Dewan Militer yang pada tahun 2005 menggulingkan Presiden Maaouya Sid’Ahmed Taya juga dengan kudeta tak berdarah. Ironisnya, Jenderal Abdul Aziz dan kepala angkatan bersenjata Ould Cheikh Muhammad Ahmed, adalah anggota dewan transisi itu yang mengantarkan Abdallahi menjadi presiden Mauritania.
Mauritania, negara yang sebagian besar wilayahnya gurun pasir ini adalah negara bekas kolono Prancis dengan jumlah penduduk lebih dari tiga juta jiwa. Negeri ini tak henti dilanda krisis politik. Terakhir, 48 anggota parlemen menyatakan mundur dari partai yang berkuasa saat ini karena menganggap Presiden Abdallahi telah menyalahgunakan kekuasaannya dan mengecewakan rakyat Mauritania.
Kecaman atas kudeta militer di Mauritania juga dilontarkan Uni Eropa dan Uni Afrika. Dalam pernyataannya, Uni Afrika meminta agar legalitas konstitusional di negeri itu dipulihkan. Untuk itu, Uni Afrika mengirimkan seorang anggota komisi perdamaian dan keamanannya, Ramtane Lamamra ke Mauritania untuk memantau situasi dan membantu memberikan solusi damai di negeri itu.
Komisi Uni Eropa menyebut kudeta itu telah merusak kehidupan yang demokratis yang sudah mulai membaik di negeri itu sejak kudeta tahun 2005. Pejabat Bantuan Kemanusiaan Uni Eropa Louis Michel mengatakan, kudeta telah mengganggu rencana bantuan terhadap pemerintah Mauritania. Lembaga ini sudah berkomitmen untuk melaksanakan program bantuan tahun 2008-2013 sebesar 241 juta dollar untuk Mauritania. (ln/iol)