Pada 1348, otoritas gerejawi di Padua, Italia, mengeluarkan edaran yang tidak memperbolehkan pemakaian angka nol.
Namun, bagaimanapun, otak pedagang tidak ambil pusing dengan larangan demikian. Dalam dunia perniagaan, hal terpenting adalah yang paling efisien dan menguntungkan. Berhitung dengan angka Romawi sungguh-sungguh menyulitkan transaksi sehari-hari. Maka dari itu, kaum pedagang Eropa lebih menyukai angka Arab.
Venkateswaran menuturkan, situasi komikal sesekali terjadi. Misalnya, suatu kios tiba-tiba diinspeksi pihak otoritas gereja. Pedagang di sana lantas menyerahkan buku catatan yang berisi angka-angka Romawi. Padahal, pemilik kios itu memiliki satu buku lain yang berisi catatan serupa, tetapi memakai angka-angka Arab. Buku haram itu disimpan dengan baik di dalam laci, jauh dari jangkauan petugas.
Memasuki abad ke-15, kekuasaan gereja di seluruh Eropa mendapatkan tantangan dari dinamika intelektual setempat. Masa Renaisans dimulai. Revolusi saintifik pun memaksa masyarakat Barat untuk menerima angka Arab dalam berbagai kegiatan keilmuan maupun komersial. (rol)