Kader Fatah di Ghaza Membelot, Buat Organisasi Baru Fatah Al-Yaser

Khaled Abu Helal, salah satu kader Fatah sekaligus jubir Kementerian Dalam Negeri Palestina dalam Kabinet Hamas pimpinan Ismail Haniyah, menyatakan keluar dari organisasi Fatah. Ia kemudian menggagas pendirian organisasi baru bernama Fath Al-Yaser, mengikuti nama mendiang pimpinan sekaligus pendiri Fatah Yaser Arafat.

Khaled menyampaikan hal ini dalam konferensi pers yang diadakannya, dengan menghimpun ratusan kader Hamas di Ghaza. “Dalam beberapa hari lagi, akan diresmikan kantor gerakan Fatah Al-Yaser di seluruh distrik kota Ghaza. Setidaknya proses ini memakan waktu dua pekan dan selama itu akan dibuka terus keanggotaan dan sejumlah program yang digulirkan, ” jelas dia.

Terkait Tepi Barat yang kini dikuasai oleh gerakan Fatah, ia menyampaikan kepada saudara-saudaranya untuk bergabung dengan Fatah Al-Yaser di jajaran pimpinan dan membentuk struktur rahasia karena alasan keamanan. Juga karena adanya penjajah Zionis serta mata-matanya yang tersebar di antara rakyat Palestina di Tepi Barat.

Dalam pernyataannya, ia mengkritik keras apa yang dilakukan Muhammad Dahlan yang telah melakukan konspirasi untuk merusak rakyat Palestina. Menurutnya juga, apa yang dilakukan Mahmud Abbas yang telah membubarkan kabinet Hamas dan mendirikan kabinet darurat, adalah tidak benar dan tidak sesuai dengan sistem politik nasional.

Helal juga menyampaikan pandangannya yang berbeda dengan gerakan Fatah seniornya. Helal yang mengaku sebagai sekjen Fatah Al-Yaser mengatakan, permasalahan Palestina mulai rumit sejak organisasi Fatah menandatangani perjanjian Oslo, yang “terhina”. Ia menjelaskan bahwa perjanjian itu awalnya adalah merupakan hasil pemikiran mendiang pemimpin Yaser Arafat. Tapi Arafat melakukan perjanjian itu karena terpaksa setelah rangkaian pembunuhan yang dilakukan Israel terhadap para pemimpin Palestina yang ada di sekelilingnya.

“Israel melakukan pengkhianatan di sekitar Arafat dan memaksakan embargo politik, ekonomi dan membuat rakyat kelaparan, ” ujar Helal.

Namun, tambahnya, setelah Arafat kembali masuk dan menetap di Palestina, ia pernah ditanya tentang adanya sebagian pimpinan dan menteri yang menjadi agen Israel di sekitarnya. Ketika itu, Arafat menyampaikan dirinya merestui sebagian orang yang melakukan pengkhianatan itu untuk bisa menjalin komunikasi dengan Israel. “Tapi selanjutnya, Arafat menyadari sesungguhnya Israel tidak sedang memproses perdamaian yang diinginkan melainkan mencari agen dan kolaborator untuk bekerjasama dengan mereka. ”

Sepulang Arafat dari Washington, lanjut Helal, Arafat mengatakan, “Kembalikan senjata di tangan rakyat untuk melakukan intifadhah kembali. ” Tapi seruan itu membuat ketakutan para agen Israel dan menyembunyikan senjata keamanan Palestina di bawah tanah agar tidak bisa diperoleh rakyat Palestina dan para pejuangnya. Seiring dengan itu, para agen spionase Israel terus menerus menekan Arafat, dan semua orang akhirnya mengetahui apa yang terjadi di Ramallah.

“Mereka menyembunyikan dokumen terbunuhnya Arafat dan tidak mengizinkan seorangpun untuk mengetahui kenapa dan bagaimana Arafat meninggal, ” ujar Helal. (na-str/iol)