Kabul Seperti Kota Mati, Aparat Rezim Yang Biasa Petantang-Petenteng Kabur

“Saya di sini membuat roti, tapi hanya mendapat uang sangat sedikit. Petugas keamanan adalah kawan-kawan saya, mereka telah pergi.”

Dia belum kedatangan pembeli, katanya, dan masih tetap memanaskan tandoor (oven dari tanah liat) sebagai antisipasi.

“Perhatian pertama saya adalah menumbuhkan jenggot dan bagaimana menumbuhkannya dengan cepat,” kata Hakim. “Saya juga bertanya kepada istri apa mereka punya cukup burka untuk dikenakan olehnya dan anak-anak perempuan saya.”

Selama Taliban berkuasa pada 1996-2001, penduduk laki-laki dilarang mencukur jenggot dan perempuan diharuskan memakai pakaian tertutup di tempat umum.

Di jalan Chicken Street, Kabul, sejumlah toko karpet, kerajinan dan perhiasan, juga kafe-kafe kecil, ditutup pemiliknya.

Sherzad Karim Stanekzai, pemilik toko karpet dan tekstil, mengatakan dia memutuskan untuk tidur di tokonya yang tutup untuk menjaga barang-barangnya.

“Saya benar-benar terkejut. Masuknya Taliban membuat saya takut, tapi (Presiden Ashraf) Ghani pergi meninggalkan kami semua dalam situasi yang memburuk ini,” kata dia.

“Saya kehilangan tiga saudara dalam tujuh tahun selama perang ini, sekarang saya harus melindungi bisnis saya.”

Dia mengaku tidak tahu dari mana pelanggan nanti akan datang. “Saya tahu tak akan ada lagi warga asing, orang-orang internasional yang akan datang ke Kabul,” katanya.

Pemimpin Taliban mengatakan para pejuang mereka telah “diperintahkan untuk membiarkan warga setempat melanjutkan aktivitas sehari-hari dan tidak melakukan apapun yang membuat takut warga sipil.”

“Hidup normal akan terus berlangsung dengan cara yang lebih baik, itulah yang bisa saya katakan untuk saat ini,” kata dia kepada Reuters lewat WhatsApp.[viva]