Johnson, Gorbachev, dan Obama

Bayangkanlah, misalnya Anda adalah seorang penduduk desa yang tinggal di pesisir Afghanistan selatan.

Anda hampir tidak berpendidikan, bangga terhadap sejarah wilayah Anda dan senantiasa berhati-hati terhadap orang luar. Jika Anda tinggal di selatan Afghansitan, berarti Anda adalah seorang Pashtun. Pashtun adalah satu hal, dan Taliban adalah hal lain di Afghanistan.

Tak ada yang lebih dibenci oleh orang Pashtun selain pasukan Amerika. Beberapa, sebagian kecil tentara Amerika berlaku baik kepada rakyat Afghanistan—membantu memperbaiki jalan dan menghormati orang tua serta adat istiadat setempat. Tapi sebagian besar lagi menghancurkan rumah, mempermalukan perempuan, atau membom pesta pernikahan.

Dalam prioritas pemerintahan, Anda juga akan marah, tentu saja, karena sebagai Pashtun—suku yang sangat dominan di Afghansitan dan karena presiden Anda berasal dari suku Anda juga, telah dikesampingkan dalam beberapa tahun terakhir, karena Amerika. Selain itu, pemerintah Afghanistan tidak pernah tidak berhenti jadi seorang korup.

Pasukan asing selalu membuat tidak nyaman. Beberapa tahun pertama hanya ada sekitar 10.000 tentara Amerika di seluruh negeri. Sekarang, setelah pidato Presiden AS, BarackObama pada hari Selasa (1/12), segera akan ada 100.000. Itu tiga kali lebih banyak dari ketika menjabat sebagai presiden, dan 10 kali lebih banyak dari 2003.

Hmmm. Anda mungkin belum sepenuhnya percaya kepada Taliban—secara Anda adalah orang Pashtun, tapi mungkin Taliban benar ketika memperingatkan tentang orang-orang kafir yang telah menduduki tanah Anda. Mungkin Anda akan memberikan kambing untuk mendukung anggota sebuah suku yang bergabung dengan Taliban setempat. Itulah sebabnya mengapa begitu banyak orang yang bekerja di Afghanistan pada akar rumput yang menonton eskalasi Obama dengan perasaan yang tenggelam.

Di Vietnam, presiden Lyndon Johnson bertaruh dua kali lipat bahwa ia akan segera “mengakuisisi” negara itu, dan Mikhail Gorbachev—Anda masih ingat kan tentang Grobachev? (Betul, ia adalah seorang komunis!, dari Soviet dan negaranya telah porak-poranda mendahului Afghanistan yang telah diinvasinya), mengatakan akan memiliki Afghanistan, namun kemudian mereka berdua, Johnson dan Gorbachev, membuat segala sesuatunya menjadi buruk dan mahal.

Seperti dengan Amerika di Vietnam, dan Soviet di Afghanistan, saat ini Amerika di tangan Obama jelas telah mengecilkan risiko reaksi yang nasionalis; entah bagaimana bisa Mr Obama telihat lebih antusias mengenai pasukan tambahan daripada memikirkan bagaimana memberantas pemerintah Afghanistan yang korup—jika benar peduli.

Jenderal Stanley McChrystal memperingatkan dalam laporannya mengenai situasi di Afghanistan bahwa "sumber daya baru bukan inti" dari masalah. Sebaliknya, katanya, kuncinya adalah pendekatan baru yang menekankan memenangkan hati dan pikiran rakyat Afghanistan: "Strategi kami tidak dapat difokuskan pada merebut daerah atau menghancurkan pasukan pemberontak; tujuan kita harus memenangkan hati penduduk."

Greg Mortenson, seorang aktivis sosial AS di Pakistan dan Afghanistan membuktikan bahwa tidak semua orang dibenci di Afghanistan. Ia telah mendidik anak-anak menjadi seorang yang terpelajar. Menurut Mortenson, biaya menggelar satu prajurit untuk satu tahun, adalah sama dengan untuk membangun sekitar 20 sekolah.

Dan Taliban biasanya tidak main-main dengan proyek yang mempunyai dukungan lokal yang kuat. Itu sebabnya mereka tidak membakar dan mengganggu sekolah-sekolah yang dikelola oleh Mr Mortenson.

Pengeluaran militer Amerika di Afghanistan saja tahun depan akan melebihi seluruh anggaran militer resmi dari setiap negara lain di dunia.

Seiring waktu, pendidikan telah menjadi satu kekuatan terbesar untuk menstabilkan masyarakat. Tidak ada pil ajaib untuk menyembuhkan konflik Afghanistan. Itu sebabnya, jika Mr Obama ingin sukses di Afghanistan, ia akan jauh lebih baik dengan 30.000 sekolah daripada 30.000 pasukan. (sa/newyorktimes)