Kepala kajian di pusat pelatihan pilot Royal Air Force (RAF) Inggris adalah seorang mualaf yang telah mengkritik serangan udara NATO di Libya, dan lebih berfokus pada kegiatan keIslaman yang tidak ada hubungannya dengan pelatihan, sebuah surat kabar Inggris melaporkan.
Dr Joel Hayward (47 tahun) adalah dekan perguruan tinggi di Cranwell, dan ia telah mengajarkan banyak pilot untuk melakukan operasi militer terhadap Kolonel Gaddafi, lapor situs Daily Mail.
Namun Hayward dilaporkan juga mengecam tindakan NATO yang telah melakukan pembunuhan massal terhadap warga sipil di Libya, kata surat kabar itu.
Dia mengkritik serangan udara dalam sebuah artikel majalah tentang Libya, yang diterbitkan di bawah judul "Barat menjalankan risiko yang berniat baik (dan inkonsistensi) sehingga menyebabkan ketidakpercayaan".
"Ketika pesawat barat mulai menghancurkan tank dan menghujani dengan rudal yang menghancurkan angkatan udara dan sistem pertahanan udar Libya, para pemimpin saling mengucapkan selamat mengklaim berhasil mencegah sebuah ‘kekejaman’ atau ‘pembantaian’ – kata-kata menggugah yang disulap layaknya pembantaian bergaya Srebrenica," tulis Hayward.
Pandangan dan perilakunya yang agak ‘aneh’ telah menyebabkan keresahan di kalangan perwira senior RAF di Cranwell, di mana dia adalah akademisi paling senior dan pengajar bagi pangeran William.
Dalam sebuah surat yang berjudul "The Air Force Ayatullah", salah satu perwira senior RAF menyatakan keprihatinannya bahwa Hayward lebih memfokuskan kegiatan-kegiatan Islam yang tidak ada hubungannya dengan RAF.
Perwira itu juga menuduh Hayward memberikan perlakuan istimewa terhadap taruna muslim dan membuat para siswa lain untuk mengambil posisi ‘lunak’ ketika menulis tentang teroris Muslim atau ekstrimis Islam.
Menurut laporan Daily Mail, Hayward menyatakan dia tidak "mengakui" semua tuduhan tersebut.
Ini bukan pertama kalinya Hayward telah menuai kontroversi. Pada tahun 2000, ia dituduh menyangkal peristiwa Holocaust setelah publikasi dari sebuah tesis yang ditulisnya pada tahun 1993 di University of Canterbury yang mempertanyakan jumlah orang Yahudi yang dibunuh. (fq/ANI)