Penangkapan dua mualaf Jerman yang dituduh merencanakan serangan terorisme belum lama ini, berdampak kehidupan para mualaf lainnya di negeri itu. Para mualaf itu kini diawasi dengan ketat, bahkan ada kelompok-kelompok yang memanfaatkan isu ini untuk mendapatkan keuntungan politik.
Kondisi ini mengundang keprihatinan Stefan Reichmuth, seorang profesor di bidang studi Islam, Universitas Ruhr di Bochum, Jerman. Pada Deutsche Welle ia mengatakan, "Anda tidak bisa mengatakan bahwa berpindah agama ke Islam secara implisit membawa kecenderungan seseorang menjadi radikal, " ujarnya.
Menurutnya, kemungkinan orang-orang dekat di lingkungan para mualaf itu yang membuat mereka menjadi radikal. "Perubahan jarang terjadi secara sendirinya. Perubahan biasanya terjadi dalam konteks karena pertemanan, lingkungan atau jaringan yang ditemui oleh seseorang setelah mereka berpindah agama, " papar Reichmuth.
Seperti diberitakan, pekan kemarin aparat keamanan Jerman mengumumkan telah menangkap tiga orang termasuk dua orang Jerman yang baru memeluk agama Islam, dengan dugaan merencanakan serangan ke bandara internasional Frankfurt dan sebuah basis militer AS di dekat bandara itu.
Setelah penangkapan itu, menteri dalam negeri Jerman yang akan dicalonkan menjadi perdana menteri Günther Beckstein menyarankan agar dilakukan pemantauan terhadap warga Jerman yang menjadi mualaf. Menurut data kementerian dalam negeri Jerman, saat ini ada sekitar 15. 000 sampai 40. 000 warga Jerman yang berpindah agama ke Islam. Bahkan diperkirakan jumlahnya lebih besar dari data resmi, yaitu antara 60. 000 sampai 80. 000 orang Jerman yang menjadi mualaf. Jerman sendri memiliki sekitar 3, 2 juta warga Muslim yang kebanyakan berasal dari Turki.
Terkait saran Beckstein, Ketua Liga Muslim Jerman Michael Muhammad Abuh Pfaff menyatakan bahwa saran untuk memata-matai para mualaf di Jerman hanya untuk menarik simpati politik.
Ia menegaskan, hanya segelintir mualaf saja yang memiliki pandangan-pandangan yang radikal. "Dari semua mualaf di Jerman, kita hanya membicarakan sekitar 25 atau lebih mualaf yang masuk dalam katagori radikal, " kata Pfaff, 42, yang masuk Islam pada usia 18 tahun.
Pernyataan itu dibenarkan oleh Reichmuth. Ia mengungkapkan, kebanyakan yang masuk Islam adalah kaum perempuan Jerman yang menikah dengan Muslim dan pandangan-pandangan radikal hampir tidak pernah terjadi pada kaum perempuan Jerman yang pindah agama ke Islam.
Pfaff menambahkan, faktor utama munculnya sikap radikal di segelintir warga Muslim adalah faktor ketidakadilan dan itu bisa terjadi di kalangan agama apa saja. Ia mencontohkan kasus Gudrun Ensslin dari kelompok Tentara Merah, salah satu kelompok teroris yang melancarkan aksi "Autumn of Terror" 30 tahun yang lalu.
Ensslin, kata Pfaff, adalah anak perempuan dari seorang pastor beragama Protestan yang menjadi radikal setelah bergabung dengan kelompok kiri yang tidak puas dengan kondisi masyarakat Jerman.
Pfaff menegaskan, kebijakan memata-matai para mualaf di Jerman hanya akan memicu sikap Islamofobia. "Orang Turki bisa saja kembali ke Turki, orang Mesir kembali ke Mesir. Tapi buat kami, para mualaf, Jerman adalah rumah kami. Itulah sebabnya saya memiliki keinginan khusus untuk melihat bahwa hak-hak kami juga dilindungi, " tukasnya. (ln/iol)