Kapten Yokoyama tahu bahaya tentang nuklir. Saat Amerika menjatuhkan bom atom yang meratakan kota Hiroshima, Jepang di akhir Perang Dunia II, di mana paman dan bibinya tewas.
Sekarang Kapten Yokoyama berada di kota Natori, hanya berjarak 50 km dari lokasi pusat reaktor nuklir Daiichi nuklir, yang rusak akibat gempa bumi dan tsunami 11 Maret yang lalu, dan mengakibatkan bocornya reaktor nuklir dan mengeluarkan radiasi nuklir ke udara. Para ilmuwan mengkawatirkan kebocoran radiasi nuklir akan mengakibatkan malapetaka seperti yang terjadi di Chernobyl.
Yokoyama adalah bagian dari pasukan pemadam kebakaran dari Hiroshima, yang berjuang untuk menyelamatkan orang-orang yang terkena gempa dan tsunami di Natori. Yokoyama mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan, akibat disapu tsunami. Orang-orang yang ada di kota Natori hanya ditemukan sebagai mayat.
Yokoyama berjuang mengeluarkan begitu banyak yang dari reruntuhan dan puing-puing rumah yang hancur dan porak-poranda akibat gempa dan tusunami. Tidak ada yang tersisa di kota Natori itu, semuanya rata dengan tanah, rumah, kenderaan, dan barang-barang berserakan sejauh mata memamandang.
Inilah kondisi wilayah di bagian timur Jepang. Tetapi, bukan hanya gempa dan tsunami yang membuat bangsa Jepang menjadi panik dan takut, yaitu adanya bahaya radiasi dari reaktor nuklir yang meledak, dan radiasinya telah menyebar jauh. "Kami memahami bahaya radiasi", kata Yokoyama. "Saya sangat kawatir", tambahnya.
Krisis Fukushima
Hari Selasa, empat hari setelah gempa, seorang petugas pemadam kebakaran setempat mengatakan bahwa sekitar 1.000 Natori penduduk setempat telah tewas. Tetapi, ada laporan yang mengatakan jumlah yang tewas lebih di 2.000 orang. Tempat dan lokasi orang-orang yang tewas diberi tanda merah. Sementara, mereka yang masih hidup terkurung dalam reruntuhan dan puing bangunan rumah, serta terendam lumpur. Mereka berjuang untuk dapat mempertahankan hidup.
Tapi ada yang membuat situasi yang lebih mengerikan bahkan lebih suram adalah cerobong nuklir yang terus mengeluarkan asap yang menyelemuti udara, dan membawa radiasi ke wilayah yang sangat luas. Hari Selasa, reaktor nuklir di Fukushima Daiichi mengalami serangkaian kerusakan yang sangat berbahaya: "Api di sebuah reaktor, kemudian terjadi sebuah ledakan, di tempat yang lain panas batang nuklir yang sangat berbahaya, dan dapat memicu krisis nuklir yang lebih dahsyat".
Radio, satu-satunya sumber informasi bagi banyak orang terdampar di daerah itu, disiarkan tanpa henti dan memperingatkan akan terjadinya bencana. Kemungkinan masih ada dari jumlah 140.000 orang penduduk yang masih tersisa dalam radius 30 km dari pembangkit nuklir. Mereka diberi tahun agar menutup semua pintu dan jendela mereka rapat-rapat, dan tidak menggunakan pendingin. Mereka dilarang meninggalkan rumah sampai ada evakuasi. Cucian harus tetap berada dalama rumah. Itulah pesan dari pemerintah Jepang yang disiarkan melalui radio.
"Waspada, tapi tolong jangan panik," desak salah satu penyiar. Namun demikian, terdengar suara gemetar dari Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, yang mengakui pada hari Selasa bahwa ada "risiko yang sangat berbahaya", karena tingkat radiasi yang lebih tinggi. Sejauh ini, radiasi terdeteksi di Tokyo, 250 km jauhnya, adalah delapan kali lebih tinggi dari normal.
Bahkan di daerah yang tidak terkena oleh gempa bumi atau tsunami, juga mengalami risiko terkena radiasi nuklir. Mereka meninggalkan kota mereka, dan menyebabkan kota-kota menjadi kota hantu. Di kota Fukushima, ibukota yang menjadi pusat reaktor nuklir jumlah penduduknya mencapai 300.000, mereka telah meninggalkan kota itu. Jalan-jalan hampir tidak ada kehidupan manusia.
Mieko Sato adalah salah satu dari beberapa warga yang keluar. "Kami tidak punya bahan bakar (bensin) apapun, jadi kita tidak bisa pergi ke mana pun," katanya tentang keadaan keluarganya, bersama oleh banyak yang tinggal di daerah tersebut. "Kalau kita punya bahan bakar (gas/bensin), kita pasti akan pergi."
Beberapa orang di antara mereka yang masih memiliki tempat tinggal di wilayah ini, rumah dan tempat tinggal mereka telah rusak, mereka tidak tahan lagi berdiam di rumah itu, kemudian meninggalkan rumah. Eri Kuroda, membeli tiga botol air, dan mengakui ia sangat khawatir dengan keadaan.
Tapi dia mengatakan, "Saya punya kucing, dan aku tidak bisa membawa kucing saya," ucapnya dengan nada yang sedih. "Dia benar-benar manis." Pada bagian lain kota, jalan-jalan mirip kuburan. Para kucing hitam mungkin tidak berarti nasib buruk. Tapi Fukushima, sebuah kota yang namanya berarti "pulau beruntung", tetapi menjadi ancaman yang mirip Nagashaki dan Hiroshima. (mh/tm)