Jelang Pemilu 2010, Mesir Tolak Partai-Partai Politik Baru

Mendekati pemilu 2010, suasana politik Mesir semakin panas. Pemerintah Mesir, dengan tegas menolak hampir semua pendirian partai politik baru.

Bulan lalu—untuk keempat kalinya—pemerintah Mesir menolak izin bagi partai Wasat, yang dideskripsikan sebagai “partai Islam reformis termasuk beberapa aktivis yang meninggalkan Ikhwanul Muslimin pada pertengahan 1990-an". Menurut Bulletin Reformasi Arab, partai Wasat ditolak karena platform politik "serupa dengan partai-partai saat ini dan tidak menawarkan sesuatu yang baru".

Penilian dan pemutusan layak tidaknya sbeuah parpol ikut pemilu di Mesir saat ini dipegang oleh Komite Partai Politik (PPC), suatu badan di mana delapan dari sembilan anggotanya ditunjuk oleh presiden Mesir. PPC menolak Wasat dengan alasan bahwa kebijakan Wasat adalah "tidak berbeda dari partai yang ada", sementara yang lain telah ditolak karena mengusung "ideologi radikal". Partai Al-Karama (Martabat) ditolak karena terlalu mirip dengan partai lain dan juga karena terlalu radikal.

Sebuah laporan oleh Human Rights Watch beberapa tahun yang lalu mencatat bahwa selama periode 27-tahun, PPC Mesir menolak 63 partai dan hanya menyetujui dua.

Secara teori dan undang-undang, pendirian partai politik sangat sederhana. Sekelompok orang berkumpul untuk membentuk sebuah partai politik, maka para pemilih memutuskan apakah kebijakan mereka patut didukung ataukah tidak. Tapi di negara-negara Arab—di antaranya Bahrain, Kuwait, Libya, Oman, Qatar, Arab Saudi dan UEA –kehadiran parpol tidak begitu banyak fungsinya dan kebanyakan hanya menjadi pelengkap dan penggembira pemilu saja.

Di beberapa negara telah terjadi peningkatan besar-besaran jumlah partai politik (27 di Aljazair, 26 di Maroko, 31 di Yordania dan 22 di Yaman). Sebagian pengamat melihat ini sebagai cerminan dari perpecahan di antara elite politik dan budaya, atau rezim yang berkuasa di negara yang bersangkutan untuk membagi oposisi. Namun seperti yang sudah disebutkan, partai-partai ini tidak mampu menggalang dukungan rakyat untuk mencapai tujuan yang mereka rencanakan.

Di sisi lain, pemerintah negara Arab sengaja sering membekukan dan melarang beberapa parpol: di Mesir tujuh dari 17 partai resmi yang ditutup, di Mauritania 6 dari 17 parpol dibekukan, dan di Tunisia 3 dari 11. (sa/albab)