Jaksa Agung AS Eric Holder mengatakan pada hari Minggu bahwa kecerdasan para pembuat bom dari Yaman telah bekerja sama dengan Mujahidin Suriah, dan keadaan ini “lebih menakutkan daripada apa” yang ia lihat sebelumnya.
Dalam sebuah wawancara dengan ABC News, Holder menyebutkan dugaan kerja sama antara ahli pembuat bom di Yaman dan jihadis yang berperang di Suriah sebagai “kombinasi yang mematikan.”
ABC News, mengutip sumber-sumber yang tak ingin disebut namanya, mengatakan tersangka pembuat bom di Suriah telah merancang bahan peledak cukup kecil yang hanya dimuat dalam sebuah komputer laptop.
“Saya pikir kita saat ini berada dalam waktu yang berbahaya,” kata Holder.
“Ini adalah sesuatu yang memberi kita kekhawatiran yang benar-benar ekstrim, suatu kekhawatiran ekstrim,” tambahnya dalam wawancara yang disiarkan pada hari Minggu.
Komentar Holder datang di tengah peningkatan keamanan penerbangan menuju ke Amerika Serikat.
Awal bulan ini, pemerintah AS mengumumkan langkah-langkah keamanan baru bagi penumpang pesawat dari Eropa dan Timur Tengah. Salah satu bentuk pengamanan adalah bahwa smartphone dan perangkat elektronik yang dibawa penumpang harus dapat diaktifkan sebelum perjalanan.
Ketatnya keamanan karena kekhawatiran para militan sedang mengembangkan bahan peledak baru yang dapat menyelinap ke pesawat tanpa terdeteksi.
Pada bulan November 2010, Mujahidin yang berbasis di Yaman (AQAP), mengaku bertanggung jawab atas plot pengiriman paket bom ke Amerika Serikat.
Kelompok ini juga mengklaim telah menempatkan bom di atas kapal pesawat kargo UPS yang jatuh dua bulan sebelumnya di Teluk Dubai, berhasil membunuh dua pilot AS.
Pria yang diduga berada di balik insiden tersebut adalah Ibrahim al-Asiri, saat ini ia diyakini bersembunyi di provinsi selatan wilayah yang bergolak di Yaman.
Al-Asiri, warga Saudi berusia 32 tahun, mengkhususkan diri dalam membangun bahan peledak non logam , yang sering menggunakan Pentaerythritol tetranitrate, atau PETN, dan detonator kimia.
Barack Obama memperingatkan pada bulan lalu bahwa “pertempuran” yang melibatkan Muslim Eropa yang berjihad di Suriah mengancam Amerika Serikat karena paspor mereka dapat memasuki negara itu tanpa visa. (Arby/Dz)