Israel Tolak Gencatan Kemanusiaan

Alasan kemanusian tidak bisa menghentikan kebrutalan Zionis Israel di Libanon. Israel menyatakan menolak gencatan kemanusiaan selama 3 hari antara militer Israel dan gerakan Hizbullah yang diserukan PBB, guna memberi kesempatan penyaluran bantuan kemanusian dan mengevakuasi korban secepatnya dari wilayah selatan Libanon.

“Kami tidak perlu menghentikan serangan selama 72 jam. Karena Israel telah membuka lalu lintas kemanusiaan dari dan menuju Libanon,” ungkap jurubicara pemerintah Israel Avi Pazner, Sabtu (29/07).

Pazner menambahkan, “Israel tidak menutup jalan-jalan bagi bantuan untuk sampai ke selatan Libanon.” Sebaliknya, penjajah Israel menuduk pihak Hizbullah yang menghalangi sampainya bantuan medis dan makanan ke para penduduk di selatan Libanon guna menciptakan krisis kemanusiaan sehingga kecaman diarahkan kepada Israel.

Namun pernyataan Israel ini dibantah organisasi dokter “Bilaa Hudud” yang bermarkas di Paris Perancis. Dinyatakan bahw lalu lintas kemanusiaan yang didirikan Israel di bawah tekanan internasional untuk menyalurkan bantuan ke Libanon adalah “lalu lintas semu”.

Direktor operasional organisasi dokter “Bilaa Hudud”, Cristoper Stowks, sebagaimana dinukil harian al-Anwar Libanon, mengatakan bahwa “secara praktis tidak mungkin menyalurkan bantuan kemanusiaan ke selatan Libanon. Oleh karena itu, masyarakat internasional mengkhayal ketika berbicara tentang lalu lintas kemanusiaan.” Cristoper menyebut, bagimana bantuan kemanusian bisa sampai sementara rudal-rusal Israel terus menghujani dekat tim dokter dan kemanusiaan di lapangan yang ada di selatan Libanon.

Koordinator bantuan kemanusiaan darurat PBB, Jan Egeland hari Jum’at (28/07) juga mengatakan pihaknya telah mengusulkan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB agar diumumkan gencana senjata antara militer Israel dengan gerakan Hizbullah Libanon selama 3 hari.

Egeland menjelaskan bahwa lalu lintas kemanusiaan tidak cukup untuk membantu kebutuhan warga sipil yang terkepung. Untuk itu, PBB harus segera dilakukan kontak dengan pemerintah Israel dan Hizbullah untuk mencapai kesepakatan seputar masalah ini dengan tujuan untuk stabilitas evakuasi korban ke wilayah aman serta untuk menyalurkan bantuan pangan dan obat-obatan ke daerah konflik di samping membantu evakuasi korban luka dan meninggal akibat perang yang sudah berlangsung selama lebih dua pekan berturut-turut ini.

Egeland melanjutkan, “Anak-anak, orang tua dan orang cacat telah dibiarkan tanpa mendapatkan bantuan apa-apa selama dua pekan lebih dalam situasi perang. Situasinya sangat menakutkan dalam perang ini. Jumlah anak-anak yang terbunuh melebihi jumlah korban pejuang yang bersenjata.”

Egeland menyatakan bahwa korban sipil saat ini telah mencapai lebih 700 jiwa. Demikian menurut data dari Depertemen Kesehatan Libanon. Mayoritasnya, kata Egeland adalah kaum wanita dan anak-anak. Egeland mengatakan, “Korban anak-anak mencapai sepertiga dari total korban."

Prediksi jumlah korban secara keseluruhan akan terus meningkat, karena sebagian besar jenazah saat ini masih tertimbun di antara puing-puing di lokasi yang tidak mungkin bisa dijangkau oleh tim emergency.

Di tengah-tengah peringatan institusi-isntitusi internasional atas terjadinya tragedi kemanusiaan dan penolakan Israel untuk melakukan gencatan kemanusiaan, para tim emergency di selatan Libanon menyebutkan adanya tidak kurang dari 65 jenazah yang masih berada di bawah reruntuhan dan tidak mungkin bisa dievakuasi karena gempuran sengit rudal-rudal Israel. Sementara itu gelombang pengungsian terus membanjir dari wilayah selatan Libanon. Seorang pejabat tinggi PBB di Libanon, Gamal Arafat mengatakan, “Puluhan ribu, atau bahkan ratusan ribu jiwa kini kehilangan tempat tinggal di Libanon.” (was/iol)