Prediksi Israel Sesudah Mubarak Jatuh

Kemungkinan era Mubarak di Mesir akan berakhir, dan ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi Israel. Tetapi, Israel tidak menjadikan prioritas, kemungkinan akan terjadinya perang antara Mesir-Israel di perbatasan. Sekalipun rezim baru di Mesir, sangat tidak bershabat dengan Israel. Israel berhasil mengakhiri perang dengan Mesir yang sudah berlangsung empat kali, sesudah kedua negara menandatangani perjanjian damai tahun 1979.

Para analis dan mantan pejabat Israel percaya, siapa pun penguasa baru di Kairo-bahkan Ikhwanul Muslimin sekalipun, yang berkuasa, pasti akan enggan untuk menentang Israel atau negara-negara Barat lainnya. "Mereka harus fokus pada masalah internal selama dua atau tiga tahun pertama," kata Giora Eiland, seorang pensiunan jenderal dan mantan penasehat keamanan nasional Israel. "Mereka akan membutuhkan bantuan Amerika dan investasi asing. Jika mereka mengambil alih pemerintahan, mereka tidak akan terburu-buru berperang ", ucap Giora.

Menghadapi skenario yang paling buruk dengan kejatuhan Mubarak, yang merupakan sekutu utama Israel, menurut Giora Eiland, sesunguhnya sejak tahun 1970, Israel merasa sendirian. Serangan Israel terhadap kapal Mavi Marmara yang menuju Gaza beberapa waktu lalu, membuat memburuknya hubungan aliansi Israel dengan Turki, bahkan termasuk pembatalan latihan militer bersama Nato, dan penghentian kerjasama dibidang intelijen antara Israel-Turki.

Negara kedua untuk berdamai dengan Israel setelah Mesir adalah Jordania, dilecehkan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, karena tidak menjadi lebih akomodatif terhadap isu Palestina. Bahkan hubungan antara AS dan Israel telah menjadi semakin dingin, karena Israel dibawah Netanyahu tidak mau menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, yang merupakan isu utama dalam perundingan damai. AS menginginkan pemerintah Israel menghentikan pembangunan pemukiman, tetapi tidak digubris Israel. Ini membuat frustsi utusan khusus Presiden Obama, George Mitchel.

Potensi kehilangan Mubarak sudah pasti, yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini. Peristiwa ini akan seperti ketika tahun 1979, di mana rezim Shah Iran Reza Pahlevi digulingkan oleh Ayatullah Khomeini, yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Israel. Iran menjadi sekutu utama Israel, dan disingkirkan rakyatnya, serta meninggal di Mesir. Perginya Shah Iran itu menimbulkan sebuah trauma besar. "Ini adalah trauma besar", ucap Uri Librani, wakil Israel di Iran tahun 1970. "Ini memaksa kami mencari alternatif untuk beberapa kebutuhan yang mendasar bagi Israel", tambah Uri.

Kepentingan Israel kepada Mesir adalah negeri Spinx ini berbatasan tidak hanya dengan Israel, tetapi dengan Jalur Gaza, yang diperintah oleh kelompok Islam Hamas , sebuah gerakan yang merupakan cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina. Senjata dan peluncur roket mengalir dari Mesir kepada Hamas, yang dibawa melalui jaringan terowongan di perbatasan dengan Palestina. Mubarak mencoba untuk menghentikan pasokan, tapi tidak terlalu efektif.

Israel khawatir bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin akan memungkinkan aliran senjata yang lebih canggih. "Hal ini akan membuat Hamas lebih kuat dan lebih sulit untuk menghadapinya," kata Eiland, mantan penasehat keamanan nasional.

Krisis keuangan global telah mempengaruhi Israel, yang ekonominya tumbuh empat persen tahun lalu. Dengan kekerasan turun ke hampir nol di Tepi Barat, Israel lebih makmur dibanding dengan beberapa dasawarsa sebelumnya. Tetapi ketidakpastian di Mesir sudah terasa. Tel Aviv Stock Exchange turun beberapa persen dalam beberapa hari terakhir, dan mata uang Israel melemah terhadap dollar.

Namun sebagian besar analis dan mantan pejabat Israel, percaya siapa pun berkuasa di Kairo-bahkan Ikhwanul Muslimin sekalipun-akan enggan untuk menentang Israel atau negara-negara Barat lainnya.

Mereka harus fokus pada masalah internal selama dua atau tiga tahun pertama," kata Giora Eiland, seorang pensiunan jenderal dan mantan penasehat keamanan nasional Israel. "Mereka akan membutuhkan bantuan Amerika dan investasi asing. ” Jika mereka mengambil kendali, mereka tidak akan terburu-buru dalam perang. "

Pandangan khas Isrel, seperti yang diungkapkan oleh mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, menegaskan, "Tidak akan menyerahkan kontrol Yudea dan Samaria (Tepi Barat) dan tidak pula wilayah Yerusalem Timur kepada Palestina," tulis ilmuwan Israel Hillel Frisch, di surat kabar Yedioth Ahronoth pada hari Senin. "Setidaknya Iran, Mesir, Hezbullah dan Hamas tidak akan mampu melawan kita Israel dalam waktuk dekat", ucapnya.
(nm/wsk)