Israel tak ingin berperang lebih lama di Gaza. Militer Israel sudah merasakan pahitnya perang. Menghadapi para pejuang Palestina, yang terus bertahan menghadapi serangan missil dari udara, darat dan laut. Sebagian militer Israel sudah kehilangan disiplin. (Yerusalem Post, 15/1/2009). Diantara anggota tentara Israel sudah ada yang melakukan desersi. Mereka tak sanggup menghadapi perang di Gaza, dan harus membunuhi orang-orang sipil, anak-anak, wanita dan orang tua.
Dalam pertemuannya ‘Trioka’ (Perdana Menteri Olmer, Menlu Tzipi Livni, dan Menhan Ehud Barak), mendiskusikan, bagaimana caranya melakukan ‘exit’ (keluar) dari Gaza? ‘Trioka’ itu menyetujui mengirim Deputi Menhan Israel, Amos Gilad, ke Cairo, bertemu dengan sejumlah pejabat di Cairo, menyusun formulasi ‘perdamaian’, agar Israel segera dapat keluar dari Gaza. Israel, nampaknya menyetujui formula yang dibuat Mesir, dan ‘gencatan senjata’ itu, yaitu dimulai dengan Hamas menyerahkan Kopral Gilad Shalid ke Mesir, sebagai pra kondisi bagi terciptanya perundingan gencatan senjata. Namun, fihak Hamas belum sepenuhnya menerima formula yang dibuat Mesir. Meskipun, nampaknya telah diklaim bahwa, wakil Hamas Dr.Bardawel, dapat menyetujui isi formula gencatan senjata.
Menteri Pertahanan Ehud Barak telah membeberkan rencana gencatan senjata kepada Olmert dan Tzipi, sebaliknya Olmert dan Tzipi, ingin perang dilanjutkan sampai tujuan perang itu tercapai. Olmert, nampaknya percaya, tujuan perang akan dapat terwujud. Olmert mendapatkan dukungan dari Kepala Shin Bet (Dinas Keamanan Dalam Negeri Israel), Yuval Diskin, dan Kepala Mossad, Meir Dagan. Sedangkan, Menhan Ehud Barak, menyatakan bahwa tujuan perang sudah tercapai. Silang pendapat antara ‘Trioka’, menimbulkan ketidakpastian di Israel, hal ini akan terjadi seperti ketika perang di Lebanon. Para pemimpin politik dan militer Israel tidak mencapai kesepakatan dalam mengambil keputusan perang.
Nampaknya, ‘Trioka’ (Olmert, Tzipi Livni, Ehud Barat), masih menunggu kepastian tentang nasib Kopral Gilad Shalid dari pejabat intelijen Mesir, sebelum mengambil keputusan. Di sisi lain, Menlu Israel, Tzipi Livni melakukan negosiasi dengan Deputi Menlu AS, Ahahron Abramowitz, yang bertujuan mencapai kerjasama Israel-AS, menangani penyeludupan senjata dari perbatasan Mesir ke Gaza. Tzipi memaksa kepada Ahahron agar perjanjian antara Israel-AS dapat ditandatangani sebelum Condoleeza Rice meninggalkan Deparlu AS.
Ada keinginan kuat yang menjadi tujuan gencatan senjata bagi Israel, yang diakomodasi Mesir dalam formula gencatan senjata itu, pertama Hamas harus melucuti senjatanya, ini sebagai rencana menciptakan keamanan Israel. Kedua, kerjasama militer antara Israel, Mesir, Amerika, dan Otoritas Paelstina (PA), guna menghentikan penyelundupan senjata, baik lewat darat atau laut. Sehingga, tidak ada lagi ancaman keamanan bagi Zionis-Israel. Ketiga, mengembalikan Otoritas Palestina (PA),yang dipimpin Presiden Mahmud Abbas, mengambil alih pemerintahan di Gaza. Gaza tidak lagi dibawah kontrol Hamas.
Para pemimpin Israel memberikan perhatian penuh tentang adanya penyelundupan senjata, yang mereka anggap sebagai ancaman yang sangat serius bagi keamanan Israel. Selama ini, memang belum termasuk menjadi prioritas utama Israel, terkait dengan penyelundupan senjata dari Mesir. Meskpun, selama ini Mesir menutup rapat-rapat perbatasannya.
Israel juga sudah melobby para pejabat Keamanan AS, termasuk dengan Menhan AS, yang baru Robert Gate, untuk mendapatkan jaminan keamanan dari AS, khususnya berkaitan dengan penyelundupan senjata dari Mesir ke Gaza. Para pejabat Israel, melalui Menlu Tzipi Livni, meminta komitment Menhan AS, Robert Gate, dan Menlu AS yang baru, Hallary Clilnton, agar kerjasama dibidang intelijen dan militer, guna mengakhiri penyeludupan senjata, dan dapat digunakan para ‘teroris’, yang mengancam keamanan Israel menjadi sebuah keputusan politik antara Israel-AS.
Kemungkinan perang belum segera berakhir. Kemampuan militer Israel dalam perang di Gaza akan diuji. Israel menurut Menhan Ehud Barak, tujuan perang yang dilakukan Israel sudah tercapai. Yaitu mereduksi kekuatan militer Hamas, dan menghancurkan seluruh infrastrukturnya. Tapi, sampai hari ini belum ada tanda-tanda bahwa para pejuang Hamas mengerek bendera ‘putih’. Sekarang, kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam perang di Gaza sedang berhitung, termasuk Israel ingin melakukan ‘exit’ (keluar) dari Gaza, dan menunggu momentum, yang mereka inginkan. Para pemimpin Zionis-Israel sedang berjudi dengan nasib dan masa depan mereka.
Adakah mereka akan berhasil keluar dari Gaza, dan tanpa harus kehilangan muka, serta acaman akan eksistensi mereka sebagai sebuah entitas politik di masas depan? Kehancuran di Gaza yang massif, dan korban yang jumlahnya sangat besar, menyebabkan rejim Zionis-Israel telah menjadi musuh seluruh umat manusia. Jika, Israel memenangkan perang di Gaza, tapi sejatinya Israel telah kalah, akibat kejahatan yang mereka ciptakan sendiri. (M/Hartz)