Militer AS sedang menunggu persetujuan Kongres untuk menjual 3. 000 bom-bom "pintar" tingkat tinggi pada Israel. Jika disetujui, penjualan bom berpresisi tinggi ini akan menjadi transaksi jual-beli senjata pertama antara AS dan Israel sejak pecah perang Libanon tahun 2006 lalu.
Surat kabar Jerusalem Post menyebutkan, Israel juga sedang mengajukan proposal pembelian pesawat tempur jenis F-22 Raptor-pesawat tempur yang mendominasi angkatan udara AS-meski pesawat jenis ini dilarang diekspor.
Mengutip seorang juru bicara Pentagon, Jerusalem Post menulis bahwa kepentingan utama AS adalah memperkuat pertahanan Israel. Menurut jubir Pentagon yang tidak disebut namanya itu, dengan memperkuat angkatan bersenjata Israel akan membawa stabilitas di Timur Tengah.
Disebutkan pula, bahwa Israel keberatan dengan rencana AS menjual persenjataan canggihnya-termasuk tipe bom-bom yang diminati Israel-ke Arab Saudi dan sekutu-sekutunya di kawasan Teluk Persia. Israel khawatir, penjualan senjata canggih AS ke negara lainnya di kawasan Timur Tengah, akan mengikis superioritas negara Zionis itu di kawasan tersebut.
Dalam kunjungannya ke Israel belum lama ini, Menteri Pertahanan AS Robert Gates berusaha membujuk Israel agar tidak terlalu khawatir dengan penjualan senjata ke negara-negara kawasan Teluk. Gates meyakinkan Israel, bahwa negara-negara sekutu AS tidak akan mengancam superioritas militer Israel dan penjualan itu diperlukan untuk memberangus pengaruh Iran di kawasan tersebut.
Sejauh ini belum ada kejelasan apakah rencana Israel membeli bom-bom pintar dari AS terkait dengan penjualan senjata AS ke Arab Saudi. Namun sejumlah pejabat pemerintah AS pada surat kabar New York Times awal bulan ini mengatakan bahwa mereka sedang membahas rencana paket penjualan senjata secara terpisah pada Israel untuk mengurangi kekhawatiran Israel atas penjualan senjata AS ke Arab Saudi.
AS sudah sejak lama melakukan transaksi penjualan senjata-senjata canggih pada Israel. Senjata berupa "bom-bom pintar" buatan AS bahkan digunakan Israel saat perang dengan Hizbullah di Libanon tahun 2006 lalu.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia menuding militer Israel telah menggunakan bom-bom kluster yang sudah dilarang pemakaiannya oleh dunia internasional dalam perang tersebut. Sekitar 90 persen bom-bom kluster itu dijatuhkan Israel ke wilayah selatan Libanon, tiga hari menjelang gencatan senjata.
Hasil investigasi AS membenarkan bahwa Israel telah melanggar kesepakatan dengan AS tentang penggunaan bom-bom kluster, yang hingga kini masih mengancam kehidupan warga di Libanon Selatan. Namun, meski terbukti melakukan pelanggaran, AS tidak menghentikan penjualan senjatanya ke Israel dan tetap mendukung negara Zionis itu. (ln/tehrantimes)