Insiden serangan traktor, yang merupakan serangan kedua yang dilakukan warga Palestina di Yerusalem memicu perdebatan sengit di kalangan warga dan pejabat Israel. Para pimpinan lembaga-lembaga keamanan Israel mengatakan, pemerintah perlu melakukan tindakan yang lebih agresif untuk melindungi Yerusalem dari serangan orang-orang Palestina.
Mereka antara lain menyerukan agar pemerintah kembali menerapkan kebijakan penghancuran rumah-rumah warga Palestina yang anggota keluarganya melakukan serangan terhadap Israel. Padahal laporan militer Israel tahun 2005 lalu menyatakan bahwa kebijakan seperti itu ternyata tidak efektif.
"Para keluarga teroris harus dikenai sanksi, jika terbukti bahwa mereka berkolaborasi dalam melakukan serangan atau tidak melakukan upaya untuk menghentikan rencana serangan, " kata Menteri Dalam Negeri Israel, Meir Sheerit.
"Jika diketahui ada tendensi yang jelas di kalangan para pekerja Palestina dari Yerusalem Timur yang ingin menggunakan peralatan berat untuk melakukan serangan, maka penggantian tenaga kerja harus diambil dari warga Israel, " tukas Meir Sheerit.
Situs berita YNet mengutip keterangan sejumlah pejabat Israel yang mengakui bahwa bentuk-bentuk "serangan yang populer" seperti melemparkan bom molotov atau melakukan penusukan dengan pisau kini makin mengingkat.
Selama enam bulan pertama tahun 2008, polisi Israel telah menangkap sekitar 71 warga Palestina dari Yerusalem Timur. Sedangkan pada tahun 2007, polisi Israel cuma menangkap sekitar 37 warga Palestina. Wilayah Yerusalem Timur, yang dianeksasi oleh Israel sejak perang tahun 1967 didiami sekitar 250 ribu warga Palestina. Di bawah penjajahan Israel, warga Palestina diberi kartu tanda pengenal khusus dari Israel, sehingga mereka bisa leluasa bergerak dan mencari pekerjaan di wilayah pendudukan Israel.
Namun sejak aksi perlawanan Intifada pecah tahun 2000, rezim Zionis secara sistematis melakukan penghancuran rumah-rumah milik warga Palestina yang dianggap melakukan serangan terhadap Israel serta melakukan kebijakan menangkapi warga Palestina yang dicurigai berpotensi melakukan serangan.
Sampai tahun 2005, Kepala Angkatan Bersenjata Israel Letnan Jenderal Moshe Yaalon dalam laporannya menyatakan bahwa kebijakan itu tidak efektif, karena tetap terjadi perlawanan dari warga Palestina. (ln/al-araby)