Semua rumah di kota ini kelihatan sama saja bentuknya. Rata-rata, bangunan yang ada berupa konstruksi berdinding batu, dengan dua atau tiga jendela dan satu pintu. Atapnya hanyalah lembaran-lembaran kering pelepah kurma.
Dengan gusar, sang menteri memarahi anak buahnya itu. Ia memilih cara cepat, yakni bertanya kepada warga setempat. Lewatlah seorang pengembala kambing di hadapannya.
“Wahai Muslim,” panggil duta raja Bizantium itu kepadanya, “saya mau tanya, di mana istana Raja Agung Umar?”
“Istana?” tanya si pengembala itu lagi.
“Ya, istana. Tempat tinggal Raja Umar bin Khattab, di manakah itu?” ulang menteri tersebut.
“Kalau yang Anda maksud adalah rumah Amirul Mukminin, lurus saja. Nanti di perempatan, belok kanan. Persis di sebelah kanan, itulah tempat tinggalnya.”
“Baik, terima kasih. Apa kamu tahu isi peti ini?” kata sang menteri lagi, “Isinya adalah koin-koin emas. Silakan ambil berapapun kamu mau.”
“Aku tidak menginginkannya. Kalau kalian sudah selesai bertanya, aku ingin melanjutkan pekerjaanku,” jawab orang Islam itu.
Belum pernah seumur hidupnya menteri ini menyaksikan, seorang penduduk biasa menolak imbalan. Padahal, di negerinya kerumunan orang bisa menyemut hanya untuk meminta sekeping koin emas.