Valencia, Sekalipun baru didirikan, namun Lediso, sebuah organisasi Muslim Spanyol untuk Dialog dan Interaksi (ar-Rabithah al-Isbaniyyah li al-Hiwar wa at-Ta’ayusy) terbilang cukup memiliki pamor yang cemerlang dan peran yang signifikan.
Organisasi yang bertempat di Jalan Granada, kota bagian Valencia, Spanyol Tenggara ini, selain berkecipun dalam dakwah Islam, juga bergerak dibidang kebudayaan, sosial, dan utamanya menjalin dialog dan interaksi yang harmonis antara umat Muslim dan non-Muslim di Spanyol.
Sekretaris Jendral Lediso, Dr. at-Thahir Uddah, dalam wawancaranya dengan situs Islamonline (10/2) menyatakan jika pihaknya terus berusaha keras untuk mengenalkan dan mendakwahkan Islam kepada khalayak masyarakat Spanyol.
Salah satu usaha dakwah tersebut adalah dengan menerbitkan buku-buku keislaman dalam bahasa Spanyol, dan menyebarkannya kepada publik luas dengan cuma-cuma (gratis).
"Buku-buku ini adalah tentang keislaman di berbagai bidangnya. Kami menerbitkan dan membagi-bagikannya ecara cuma-cuma kepada lembaga-lembaga, kantor swasta, perpustakaan, instansi pemerintahan, dan beberapa institusi pendidikan di seluruh wilayah Spanyol," ungkap Uddah.
Ia menambahkan, penerbitan dan penyebaran buku-buku keislaman tersebut sangat bermanfaat. "Dengan begitu, umat Muslim juga ikut meramaikan dan bersaham di pasar buku di Spanyol," tambahnya.
Di antara buku-buku tersebut adalah kitab suci al-Qur’an beserta terjemahannya dalam bahasa Spanyol, tafsir al-Qur’an bahasa Spanyol, sejarah hidup Rasulullah beserta sahabat dan tokoh-tokoh teladan Islam, serta buku-buku yang berisi pengenalan Islam
lainnya.
"Kami juga mendatangkan buku-buku berbahasa Arab dari Timur Tengah. Sekalipun menguras biaya banyak dan keberadaan kami yang masih terbatas, namun kami berusaha untuk mengema dan menjalankannya secara profesional," kata Uddah.
Lediso sendiri secara resmi didirikan pada Februari 2005 lalu di Valencia. Saat ini, Lediso tengah mengupayakan untuk membuka cabang di ibu kota Madrid dalam waktu dekat.
Sementara itu, kepala bidang penerangan Lediso, Dhau at-Turki menyatakan, bahwa sesuai dengan namanya, Lediso bergerak di bidang pengenalan dan dialog antar kebudayaan, khususnya pengenalan Islam kepada publik Spanyol.
"Kami juga mendirikan lembaga bantuan hukum untuk memberikan bantuan kepada para imigran Muslim, juga membela hak-hak mereka di negara ini. Kami juga mendirikan pusat-pusat pembelajaran keislaman, disamping memberikan pembekalan wawasan dan profesionalisme bagi umat Muslim Spanyol," tambah at-Turki.
Tak jauh dari kantor Lediso di jalan Granada, tepatnya di jalan Roderiguez beridiri pula Pusat Kebudayaan Islam Valencia (al-Markaz at-Tsaqafi al-Islami bi Balansiya) yang juga dikelola oleh Lediso. Keberadaan pusat kebudayaan ini takpelak banyak membantu prosesi dakwah Islam di Spanyol.
Hasil dari usaha keras umat Muslim Spanyol dalam dakwah Islam rupanya banyak membuahkan hasil. Dalam lima tahun terakhir, angka orang-orang Spanyol yang memeluk Islam tercatat menaik tajam. Lediso sendiri kerap menggelar pertemuan untuk para muallaf itu.
Dakwah Islam di Eropa jelas tak mudah. Bangsa Eropa memandang inferior terhadap bangsa Arab. Islam dalam pandangan mereka terwakili oleh Arab. Sementara, bangsa Arab sendiri saat ini berada dalam keterpurukannya. Bangsa-bangsa yang "memajukan" Islam di era kodern ini justru bukan orang-orang Arab, melainkan orang-orang ‘ajam (non-Arab), seperti Turki, Persia (Iran), dan Albania (Balkan).
Di Spanyol dan di seluruh semenanjung Iberia (yang kemudian disebut al-Andalus atau Andalusia), Islam pernah bercokol selama hampir 7 abad lamanya (tercatat dari abad ke-8 hingga ke-16). pada masanya, keberadaan Islam di Spanyol mampu menjadikan semenanjung tersebut sebagai jantung peradaban dan ilmu pengetahuan dunia. Selama rentan waktu peradaban Islam di Spanyol, sejarah mencatat jika ribuan orang-orang Eropa berbondong-bondong untuk mengais ilmu di kota-kota Spanyol-Islam seperti Granada (Gharnathah), Cordova (Qurthubah), Murcia (Mursiyyah), Guadalquivir (al-Wadi al-Kabir), Xativa (Syathibah), Zaragoza (Sarqasthah), Toledo (Thalithala), Barcelona (Barsyalunah), dan lain-lain.
Sejak abad ke-11 M, dimulailah proyek transmisi literatur Arab-Islam ke bahasa Latin. Di abad ini pula al-Qur’an dan buku-buku kanon Islam lainnya diterjemahkan ke bahasa-bahasa Eropa. Dr. Abdul Halim Uwways, guru besar sejarah di Universitas Al-Azhar, Mesir, dalam bukunya Tarikh al-Islam fi al-Andalus (Sejarah Islam di Spanyol), menjelaskan secara apik prosesi pentransferan ilmu pengetahuan Islam ke Eropa. Keterangan serupa juga digambarkan oleh orientalis kawakan Spanyol, Angel Gonzales Valencia, dalam bukunya Historia de la Arabigo Espanyola.
Menara peradaban Islam rubuh secara sempurna dari Spanyol pada tahun 1597 M. Raja Muslim terakhir, Abu Abdillah (Bouabdil), dikisahkan menyerahkan kunci istana Alhambra kepada pihak kerajaan Kristen-Spanyol (Ferdinand-Isabella) dengan air mata berlinang. Ia dan umat muslim pun diusir untuk keluar semenanjung Iberia. Selebihnya, umat Muslim yang masih tetap tinggal di Spanyol terus diburu dan dibantai. Mereka diberi dua pilihan: memeluk Kristen, atau meninggalkan tanah Spanyol.
Demikianlah. Semenjak abad ke-17, Spanyol sepenuhnya lepas dari tradisi Islam. Spanyol menyapu bersih apa-apa yang berbau Islam dan Arab. Keadaan ini terus berlangsung setidaknya hingga paruh pertama abad ke-20.
Namun kini, lambat laun cahaya Islam kembali bersinar di bumi Spanyol. Pemerintahan Spanyol kini memberikan ruang yang lebih luas dan longgar kepada rakyatnya untuk bebas memeluk agama, termasuk memberikan kebebasan kepada umat Muslim untuk menjalankan dan menyebarkan agamanya. Maka tak mengherankan jika kini banyak ditemui beberapa organisai dan pusat keislaman di kota-kota Spanyol, salah satunya adalah Lecido.
Kekayaan warisan peradaban Islam di bumi Spanyol pun masih beridiri dengan megah hingga sekarang, serupa mesjid-mesjid, madrasah-madrasah, hamam, istana, dan bangunan-bangunan lainnya. Demikian juga, ribuan manuskrip (makhthuthat) warisan ulama Muslim masih banyak yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Spanyol, utamanya di Perpustakaan Deir Escorial, Madrid.
Dr. Aisyah Abdurrahman Bint Syathi’, guru besar sejarah di Universitas Qurawiyyin, dalam bukunya Turatsuna Bayna al-Madhi wa al-Hadhir (Khazanah Kekayaan Tradisi Kita, Antara Dulu dan Kini), mengajak umat Islam untuk lebih memiliki perhatian serius kepada khazanah Islam yang demikian kaya, yang pada saat ini banyak tersimpan di perpustakaan Eropa. Syathi secara tegas menyayangkan kondisi umat Islam yang justru lebih betah tenggelam (isytighal) dengan persoalan-persoalan furu’iyyah dan khilafiyyah yang sejatinya tak demikian penting.
Kritikan Syathi’ juga tentunya dapat dijadikan bahan renungan untuk Muslim Indonesia. (atjeng cairo/iol)