Beginilah nasib warga Irak setelah kejatuhan Saddam Hussein dan invasi militer Amerika dan Sekutunya kesana. Kesulitan hidup hampir setiap hari melilit kehidupan mereka. Untuk bertahan hidup pekerjaan apapun terpaksa mereka lakukan, termasuk menjadi pembantu rumah tangga ataupun tukang batu.
Lamis Abdul Halim seorang apoteker harus mencari pekerjaan di setiap sudut kota Baghdad setelah Apotik di Baghdad tempat dia bekerja selama 15 tahun ditutup.
Namun setelah lelah tanpa henti mencari pekerjaan, akhirnya ia menyerah.
"Tidak ada seorangpun yang mempekerjakan ahli farmasi," kata Lamis Abdul Halim (41 tahun) kepada IOL.
"Saya memiliki dua anak dan suami saya baru mendapatkan pekerjaan yang gajinya hanya mampu untuk membayar sewa rumah. Jadi saya memutuskan untuk mencari pekerjaan sebagai seorang pembantu rumah tangga," katanya dengan raut wajah sedih.
Banyak lulusan universitas yang berpengalaman dan profesional dilaporkan terpaksa menjadi pembantu rumah tangga, dengan pekerjaan bergaji rendah demi memberi makan keluarga mereka.
"Lulusan diploma sedang mengalami penurunan," kata seorang tenaga ahli dalam bidang sosilogis dan ketenaga kerjaan – Waleed Hadid.
Dia cenderung menyalahkan meningkatnya angka pengangguran di Irak terjadi setelah Amerika menginvasi Irak.
Menurut laporan PBB dan LSM, hampir 28 persen dari rakyat Irak berusia antara 15 dan 29 tahun menganggur. Sedangkan sumber lain malah menempatkan rasio sampai 40 persen.
Abdul Majid Muhsin, lulusan teknik biokimia mengatakan, dirinya sekarang terpaksa menjadi seorang tukang batu.
"Gaji saya sangat rendah namun setidaknya saya memiliki pekerjaan, tidak seperti saudara saya yang dulunya seorang pengacara dan sekarang menjadi penjual DVD bajakan di pusat kota Baghdad."
Muhsin sempat tersinggung dan marah ketika beberapa minggu lalu ia di hentikan di pos pemeriksaan dan diminta memperlihatkan dokumen-dokumen resmi miliknya.
"Saya memiliki identitas dan ketika aparat kepolisian melihatnya, mereka tidak percaya bahwa saya adalah lulusan sarjana teknik," katanya.
"Mereka menahan saya dan membebaskan saya 4 jam setelah mereka memeriksa dokumen-dokumen pribadi saya dan menyadari bahwa saya bukan seorang pejuang dengan identitas palsu."
Mimpi-mimpi yang terkubur
Ketika Muhammad Adnan telah menyelesaikan kuliahnya, dia tidak pernah sebelumnya membayangkan ijazah diploma teknik yang ia miliki harus ia buang di kloset dan ia harus bekerja sebagai seorang tukang kebun.
"Menjadi seorang insinyur adalah mimpi saya sejak kecil," kata Adnan (23 tahun) kepada IOL.
"Saya bekerja keras supaya mimpi saya tersebut terwujud."
Orang tua Adnan sangat bangga telah menghabiskan semua uang mereka dan menabung hanya untuk biaya pendidikan Adnan.
"Hampir setahun saya telah mencoba untuk mencari pekerjaan namun sampai sekarang belum mendapatkannya," sesalnya.
"Setelah wafatnya ayah saya beberapa bulan yang lalu, saya bertanggung jawab untuk membawa uang ke rumah walau harus bekerja sebagai seorang tukang kebun."
Menurut pejabat Irak, hal ini merupakan dilema – terlalu banyak masalah seperti rendahnya investasi, meningkatnya pekerja asing yang bekerja di Irak dan semakin sedikitnya proyek rekonstruksi yang dapat merekrut banyak pekerja.
"Ini membutuhkan waktu yang lama, penuh dengan rintangan yang harus kami atasi," kata seorang senior di kementrian ketenaga kerjaan dan sosial (MLSA) kepada IOL.
"Butuh waktu yang lama, namun kami berharap rakyat Irak akan segera bisa bekerja sesuai profesi dan keahliannya masing-masing suatu hari nanti."
Namun Muhsin, seorang insinyur yang menjadi tukang batu, menganggap hal tersebut hanyalah janji-janji kosong belaka.
"Para politisi hanya peduli tentang keuangan dan kekuasaan mereka. Mereka tidak peduli tentang nasib kami."
"Saya tidak terlalu berharap banyak di masa depan."
Lamis Abdul Halim, apoteker yang menjadi pembantu rumah tangga, menyetujui apa yang diucapkan Muhsin.
"Irak telah mengubur impian kami."(fq/iol)